Langsung ke konten utama

IBU MATI DI TUNGKU API


04:00
Pagi masih terlalu pagi ketika wanita tua itu terbangun. Sebetulnya tidurnya belumlah lunas, toh semalam ia tidur paling akhir. Matanya seperti belum bisa terpejam ketika mengetahui anak-anaknya belum tertidur. Meski lelah memasungi raganya, ia sulit memejamkan matanya takkala anak-anaknya belum terlelap. Sesekali ia kan terbangun, walau hanya sekadar tuk memastikan kain dan selimut masih menghangatkan tubuh sang anak.
Ibu, yah kurang lebih seperti itulah kami menyapanya.
Di waktu sepagi itu, ketika yang lain masih terlelap dengan mimpi-mimpinya, wanita tua itu telah bergumul dengan hawa pagi yang membunuh. Hanya bermodalkan sweater lusuh yang termakan usia, ia menimba air sumur di belakang rumahnya. Yang ada hanya kesunyian, dingin dan pelita kecil yang sepertinya masih belum sanggup taklukkan gelap. Pelita itu seakan menggambarkan semangat hidupnya yang tak pernah padam, meski cahaya kecilnya cuma berjalan sejauh sejengkal cahaya. Kehidupannya sudah seperti itu semenjak hari pernikahannya di 30 tahun silam; dan sedari masa itu, tak ada banyak hal yang berubah dari kehidupannya.
Tangan-tangan kecilnya begitu kuat memotong kayu meski parangnya kini tumpul. Dengan nafasnya yang berat, ia seperti kesulitan meniup agar nyala api tetap terjaga. Terkandang ia tak punya sisa minyak tanah tuk menyalakan apinya. Tapi, bukan ibu namanya jika ia tak punya seribu cara tuk menyalakan apinya. Sambil menunggu nasinya matang, ia ditemani oleh segelas kopi. Ia salah seorang pembuat kopi yang handal. Entah kenapa, kopi buatan tangannya seperti memiliki rasa yang berbeda. Teguk demi teguk seperti perlahan-lahan membayar lelah dan mengembalikan semangatnya.

06:00
Tumben aku bangun cepat, biasanya aku bangun setengah jam lagi. Kulangkahkan kakiku ke dapur dengan jiwa yang belum sepenuhnya terbangun. Kulihat ibu masih tertunduk menatapi tungku api, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Sesekali tangan kecilnya membenarkan posisi kayu, biar nyala api tetap terjaga. Kopinya tinggal separuh. Di meja telah ia siapkan nasi dan sayur, di antara keduanya ia juga menyiapkan kopi. Ia tahu persis aku dan ayahku sungguh menyukai kopi.
Dalam hatiku,”sungguh Ibu yang luar biasa”. Mengapa setelah sekian lama, baru kali ini aku menyadarinya.
Ahh,, sudahlah. . . .

Setelah mandi dan membereskan semua cucian, aku kembali ke kamar. Ketika melewati dapur, sekali lagi kulihat Ibu masih terdiam dengan posisi yang sama. Gelas kopinya masih separuh; masih sama seperti tadi saat kulihat. Ia setengah tertunduk. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena tertutup topi sweater abunya yang lusuh. Tungku api tak lagi bernyala, kayunya berserakan tepat di depan kakinya yang terbungkus kain songke. Sedikit lagi tentu bara-bara tersebut akan membakar kain tuanya itu. Aku merasa ada yang janggal. Ia diam dan bergeming meski beberapa kali kupanggil namanya. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang.
Aku mendekatinya, seketika suaraku pecah memecah keheningan pagi. Teriakankanku seperti sirene yang membangunkan ayah dan adik-adikku; para tetangga berbondong-bondong menghampiriku yang menangis histeris. Ayah tak sanggup berkata-kata, hanya air mata yang mengungkapkan semuanya, sementara adikku yang paling bungsu bengong di pintu kamar; ia belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi.
Aku, terus memeluk dan tak jua melepas tubuh Ibu yang masih hangat. Dalam ishak pilu nan sendu, aku masih belum bisa mempercayai apa yang terjadi.
Aku tahu, ada begitu banyak hal yang belum sepenuhnya lunas. .
Aku tahu, pagi dan hari-hariku takkan lagi sama,,
Aku kan slalu merindukan suguhan kopi paginya‼

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...