Langsung ke konten utama

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia)

Felixianus Usdialan Lagur*

PROLOG
Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . .

HAKIKAT BAHASA
Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pakar bahasa yang saya ambil dari beberapa halaman Google memberikan defini bahasa yang hampir sama. Yang pertama Willian A. Haviland; ia memberikan definisi bahasa sebagai suatu sistem bunyi yang jika digabungkan menurut aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua orang yang berbicara dalam bahasa itu. Yang kedua Bloch & Trager mendefinisikan bahasa sebagai sebuah sistem simbol yang bersifat manasuka dan dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama. Yang ketiga Carrol, beliau menegaskan bahasa sebagai sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan atau dapat digunakan dalam komunikasi antara individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia. Senada dengan definisi-definisi terseut, Goris Keraf dalam buku Komposisi, terbitan Nusa Indah Ende tahun 2004 memberikan definisi bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2004:1).Lebih lanjut, Keraf menjelaskan empat fungsi bahasa sebagai: a. Untuk menyatakan ekspresi diri; b. Sebagai alat komunikasi;  c. Sebagai alat untuk mengadakan interaksi dan adaptasi sosial; d. Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial (Keraf, 2004: 4). Masih ada begitu banyak definisi dan kajian tentang bahasa yang dilahirkan oleh para ahli, pada intinya semuanya definisi tersebut mengacu pada kata kunci yang sama yakni: arbiter, konvensional dan berfungsi sebagai alat komunikasi antarmanusia.
Jika dicermati secara saksama, sejumlah definisi dan kajian tentang bahasa yang ditelurkan baik  oleh KBBI maupun oleh sejumlah pakar bahasa cenderung memberikan batasan bahasa hanya sebagai alat komunikasi antarsesama manusia. Merujuk pada beberapa definisi di atas, bahasa dan sistem komunikasi yang dibangun oleh manusia kepada TUHAN, hewan dan alam semesta sepertinya tidak mendapat sorotan yang cukup. Hal ini sekiranya dapat dipahami mengingat latar belakang pendefinisi tentang bahasa tidak menemukan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi dengan alam dan makhluk hidup lainnya.
Apa yang tertuang dalam tulisan ini hanyalah sebuah bahan permenungan sekaligus hasil refleksi pikiran liar penulis. Tidak perlu direnungkan secara lebih serius, tulisan ini hanyalah sebuah catatan lepas mahasiswa jomblo, yang hadir bukan untuk menggungat definisi KBBI dan definisi para ahli. Siapapun tahu, menulis –seperti halnya menulis artikel ini- hanyalah satu dari sekian banyak alternatif yang dapat dipakai kaum jomblo untuk mengusir sepi yang perlahan-lahan membunuh. Sumpah demi dewa, tidak ada niat untuk menggugat definisi KBBI. Kalaupun di kemudian hari ia layak dijadikan sebagai antitesis terhadap definisi bahasa-nya KBBI, please jangan lupa untuk menyeret nama saya. . xixixixixi. .

BAHASA MANGGARAI DAN DIMENSI KOSMOLOGIS(NYA)
Bahasa Manggarai merupakan bahasa yang dipakai oleh masyarakat Manggarai Raya, sebuah wilayah menyedihkan di ujung barat pulau Flores. Bahasa ini dapat dijumpai dalam berbagai varian dialek semisal: dialek Kempo, dialek Pacar, dialek Lembor, dialek Colol dan lain sebagainya. Bahasa Manggarai merupakan salah satu bahasa yang terbilang unik. Dikatakan unik sebab dalam praktik penggunaannya, bahasa ini tidak hanya digunakan sebagai alat komunikasi antara sesama manusia, tetapi juga digunakan sebagai alat untuk menjalin komunikasi dengan Tuhan, alam dan makhluk hidup lainnya. Tidak percaya? Baca ho’o wan‼
Dalam ritus upacara adat semisal teing hang*, bahasa Manggarai dapat digunakan sebagai alat komunikasi untuk menjalin interaksi dengan para leluhur dan dengan TUHAN sang Pencipta. Saya kira kehadiran misa inkulturasi, dere serani (buku nyanyian Katolik dalam bahasa Manggarai) dan buku ngaji serani (transliterasi doa ke dalam bahasa Manggarai) menjadi penegasan lain yang memperlihatkan keberadaan bahasa Manggarai sebagai alat komunikasi dengan Tuhan. Untuk ritual dan penggunaan bahasa semacam ini, saya berpikir bahasa Indonesia maupun bahasa dari daerah lain juga umum digunakan sebagai alat komunikasi untuk menjalin relasi dengan TUHAN Sang Empunya Kehidupan. Secara pribadi, saya tidak begitu tertarik untuk mengulas bagian ini. Saya lebih tertatik untuk memperlihatkan fenomena penggunaan bahasa Manggarai sebagai alat komunikasi dengan alam semesta, dalam hal ini alam dan hewan. Berikut beberapa data dan fenomena tentang penggunaan bahasa Manggarai sebagai alat komunikasi untuk menjalin relasi dengan alam dan makhluk hidup lain:
1.      Bahasa Manggarai Sebagai Alat Komunikasi dengan Alam
Bahasa Manggarai dapat digunakan sebagai sarana komunikasi dengan alam. Sejumlah ungkapan ataupun nyanyian berbahasa Manggarai dalam masyarakat Manggarai merupakan perwujudan komunikasi antara manusia dengan alam.
·         Holong (bersiul)
Bersiul ialah salah satu cara yang dipakai oleh orang Manggarai untuk “berkomunikasi” dengan angin. Siulan dapat digunakan untuk “memanggil” angin. Anak-anak Manggarai umum menggunakan cara ini ketika bermain layang-layang. Cara ini juga dipakai oleh para petani untuk “memanggil” angin pada saat teter woja***
·         Gelo wae, meti tuak
Ungkapan Gelo wae, meti tuak (terjemahan bebasnya kurang lebih: air jernih, tuaknya kering) ialah ungkapan yang dipakai untuk “mempercepat” proses penjernihan air yang keruh. Anak-anak Manggarai terutama anak-anak usia SD-SMP di wilayah pedesaan biasanya berenang di kolam ataupun sungai. Ungkapan ini diucapkan secara berulang-ulang pada saat air kolam ataupun sungai menjadi keruh. Ungkapan ini dipercaya mampu membuat air kembali jernih secara lebih cepat. Khasiat ungkapan ini belum pernah saya coba, beberapa narasumber yang saya temui meyakinkan saya bahwa daya magis ungkapan ini benar adanya.
·         Wan wae, etan leso
Terjemahan secara langsung ungkapan ini kurang lebih berbunyi “air ke bawah, matahari ke atas”. Ungkapan ini dipakai untuk “memanggil” matahari yang bersembunyi di balik awan. Sewaktu SD, kami sering mandi ataupun bermain di kali wae mese (sebuah kali besar yang membatasi wilayah Pitak dan Lawir). Lokasi kali ini tepat di sebelah barat pekuburan umum Woang. Sehabis bermain dan mandi di kali tersebut kami biasanya berjemur di tepi kali. Ketika matahari bersembunyi di balik awan dan tidak menampakkan rupanya, kami akan mengucapkan kalimat wan wae etan leso secara berulang-ulang. Penggalan kalimat ini menjadi semacam sebuah mantra yang memanggil matahari sehingga kami dapat berjemur dan menghangatkan diri di tepi sungai. Kalimat ataupun ungkapan ini dalam konteks masyarakat Manggarai menjadi semacam sebuah bentuk komunikasi antara manusia dengan matahari. Aeh gah,, canggih kami punya bahasa toh??
·         Nyanyian saat gerhana
Bagian ini hanyalah sedikit tambahan. Bagian ini sengaja saya tambahkan sebagai pengetahuan bagi saya dan teman-teman yang belum pernah mendengarnya; di sisi lain saya berpikir mungkin ini penting untuk merawat agar nyanyian tradisional ini tetap terjaga dan tak berlalu bersama zaman. Secara pribadi saya melihat penggalan lagu ini tidak mempunyai daya magis, karena siapapun tahu gerhana adalah sebuah peristiwa alam biasa yang akan berhenti dengan atau tanpa menyanyikan penggalan lagu ini. Dengan segala keterbatasan narasumber dan pengetahuan, saya mencoba mendokumentasikannya sebagai bagian dari perjalanan sejarah budaya Manggarai yang menampilkan bagaiman usaha manusia untuk membangun relasi dengan alam (baca: bulan). Lagu ini sering dinyanyikan oleh masyarakat Manggarai (zaman dahulu) pada saat terjadi gerhana bulan. Penggalan lirik yang berhasil saya himpun kurang lebih berbunyi:
Weleng wulang weleng wulang. . “bulan tersesat, bulan tersesat”
Lako salang leso. . “(Ia) berjalan di rute matahari”
·         Ruha lale
Ruha lale ialah kalimat yang diucapkan oleh masayarakat Manggarai saat terjadi gempa (nupung). Kalimat atau ungkapan ini dipercaya mampu meredakan gempa yang sedang berlangsung.

2.      Alat komunikasi dengan binatang
·         Wa-wa koe njieng lopo, wa-wa koe


Ini gambar njieng a.k.a Tonggeret dari Google

Terjemahan bebas penggalan lirik ini kurang lebih berbunyi: “turunlah wahai Njieng yang tua, turunlah”. Njieng atau Tonggeret (nama Latinnya: Tibicen Linnei) ini di daerah Sunda dikenal dengan nama Cengreret; di Jawa disebut Garengpun, kinjeng tangis atau uir-uir; sedangkan di Makasar dikenal sebagai nyenyeng. Binatang yang tergolong dalam kingdom animalia dan filum arthropoda ini merupakan binatang yang hidup di pepohonan dan umumnya muncul pada saat musim kemarau panjang. Dalam masyarakat Manggarai, kita bisa menangkap Tonggeret tanpa harus memanjat pohon, tetapi cukup dengan menyanyikan lagu di atas secara berulang-ulang. Ketika anda melihat binatang ini, kemudian menyanyikan penggalan lagu di atas secara berulang-ulang, maka njieng atau tonggeret yang berada di puncak pohon secara perlahan turun sampai pada batas ketinggian yang anda inginkan. Anda tinggal terus menyanyikan lagu ini dan menangkapnya dengan enteng.  Asli, waktu kecil saya sudah liat ini dengan mata kepala sendiri‼

·         Tutu-tutu salo, salo. . .  

Salo alias Laron. photo dari google. .
Siklus metamorfosis laron, dari Google juga
Untuk lagu ini, saya tidak tahu terjemahannya. Salo atau laron (nama ilmiahnya: macroternes gilvus) merupakan binatang yang umumnya muncul pada saat awal musim hujan. Secara alamiah, kehadiran salo atau laron menjadi penanda dimulainya musim hujan. Masyarakat Manggarai terutama anak-anak biasanya menangkap binantang ini baik hanya untuk sekadar bermain ataupun untuk dimakan –katanya bisa dimakan; saya belum coba dan tidak pernah mau mencoba-. Ketika anak-anak menangkap binatang ini, mereka akan beramai-ramai menyanyikan penggalan lagu tutu-tutu salo, salo secara berulang-ulang. Lagu ini menjadi semacam mantra yang memiliki daya magis agar binatang-binatang tersebut terbang lebih rendah sehinngga memudahkan anak-anak tersebut untuk menangkapnya. Nehot sulit keta deskripsikan pake melaju, intinya kalian juga punya pengalaman deko salo dan nyanyi ini lagu toh??
·         Conga bokak molas
Kalimat imperatif ini kurang lebih bermakna: “angkatlah lehermu cantik!”. Ungkapan ini biasa dipakai oleh orang-orang Manggarai pada saat bertemu dan hendak membunuh ular. Jadi ketika kau pergi ke hutan dan di sana kau ketemu seekor ular, lalu kau mau penggal dia punya kepala tetapi kau mengalami kesulitan untuk dapat posisi yang pas supaya bisa hajar dia punya kepala, kau tinggal pake ini kalimat sudah!
Menurut pengakuan sejumlah kraeng tua dan senior-senior terdahulu, ketika kita mengucapkan kalimat ini, nepa atau ular akan mengangkat lehernya setinggi mungkin dalam posisi tegak sehingga memudahkan kita untuk memenggal kepalanya. Ini ceritanya kalau kau punya niat untuk bunuh itu ular dan mau tunjukkan ke kau punya timi bahwa kau jago dan jantan karena bisa bunuh ular. Sekalian lumur dia punya darah ke tangan, biar lebih dramatis. Kalau boleh saya sarankan kau lari saja, biarkan dia hidup. Kasian bangsa ular sudah hampir punah!
·         Koing acu, e’ang ela dan ker manuk
Saya kira untuk bagian ini tidak perlu saya uraikan panjang lebar. Saya yakin semua pembaca tahu bahwa orang Manggarai mampu menghasilkan bunyi-bunyian tertentu (dalam istilah fonologi disebut lambang-lambang bunyi) untuk memanggil hewan piaraannya. Inang-inang dan amang-amang biasa pake ini untuk memanggil anjing atau babi ataupun ayam piaraannya. Yang mau saya garis bawahi di sini bahwa penggunaan lambang-lambang bunyi ini menjadi semacam suatu bentuk komunikasi antara manusia dengan binatang.

SIMPULAN SEMENTARA
1.   Tulisan ini hanyalah catatan lepas sekaligus langkah awal yang masih terlalu hijau. Apa yang sudah diuraikan di atas hanyalah sedikit dari sekian banyak fenomena tentang keunikan, kekhasan sekaligus kekuatan bahasa Manggarai. Saya yakin jika ditelusuri lebih jauh dan lebih mendalam, kita akan menemukan lebih banyak fenomena unik lainnya, apalagi jika kita menjadikan para tetua/sesepuh sebagai narasumbernya.
2.   Dari beberapa uraian di atas, saya menjadi terharu dan bangga dengan bahasa Manggarai. Saya bangga dan makin mencintai Bahasa Manggarai sebab dalam penggunaannya bahasa ini bukan hanya dijadikan sebagai alat komunikasi antarsesama manusia tetapi juga menjadi alat komunikasi yang membangun keintiman antar manusia dengan alam maupun antar manusia dengan hewan. Bahasa Manggarai melalui ungkapan-ungkapan ataupun nyanyian-nyanyian seperti yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya mampu mempengaruhi alam dan binatang. Inilah bagian yang menunjukkan bahwa bahasa Manggarai sangat dekat dengan alam (itu makanya dalam judul ada bagian yang berbunyi “dimensi kosmologis”).
3.  Setelah merefleksikan bagaimana ungkapan dan nyanyian dalam bahasa Manggarai mampu “memanggil angin”, mampu mempercepat penjernihan air kolam, mampu “membangunkan matahari”, mampu mensugesti itu njieng tadi, mampu mengajak salo untuk lepas landas, mampu menghipnotis ular; saya kemudian bersemedi untuk menemukan jawaban apakah saya yang belum bisa apa-apa ini serius untuk menggugat definisi kamus yang sudah dirancang dengan susah payah oleh om-om pakar bahasa?


*Penulis seorang mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia STKIP Santu Paulus Ruteng
**Teing hang: upacara persembahan kepada para leluhur yang menjadi penyambung lidah masyarakat kepada TUHAN

***teter woja: memisahkan bulir-bulir padi yang baik dengan bulir-bulir padi yang tidak berisi dengan bantuan tenaga angin. 

Komentar

  1. Sekedar ingin tau,apa bahasa manggarai kecoa(serangga)

    BalasHapus
  2. Sekedar ingin tau,apa bahasa manggarai dari kecoa(serangga)

    BalasHapus
  3. Di Manggarai Tengah, kami menyebutnya 'cigir'.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...