*Felixianus Usdialan Lagur/Dikbindo STKIP St. Paulus Ruteng
PONDIK
Pondik
merupakan salah satu tokoh dalam cerita fiksi masyarakat Manggarai. Pondik
ialah nama tokoh utama dalam beberapa serial cerita rakyat yang menjadi alunan
penghantar tidur anak-anak Manggarai. Ada begitu banyak versi cerita rakyat
yang hidup di tengah masyarakat (Manggarai), namun untuk sejumlah kisah yang
bercerita tentang kelicikan dan kepiwaian dalam memperdayai lawan-lawan sang
tokoh utama, entah mengapa pencerita kerap menggunakan nama Pondik. Pondik dalam beberapa serial cerita rakyat
yang beredar merupakan sosok tokoh yang digambarkan dengan karakter yang egois,
tamak dan licik. Ia memang sosok yang sangat cerdas, namun sayangnya ia kerap
menggunakan kecerdasannya untuk memperdayai orang lain. Ia adalah sosok yang
benar-benar tak peduli dengan keberadaan orang lain. Ia tak pernah peduli
dengan cara yang ia pakai. Apapun akan ia lakukan asalkan nafsu dan tujuannya
tercapai. Meski orang lain menderita, ia takkan peduli; yang ia tahu apa yang
ia inginkan ia dapatkan.
Pondik
memang hanyalah nama seorang tokoh dalam serial cerita rakyat, tetapi karakter
Pondik tentu tidak dilahirkan begitu saja. Kita tahu, meski hanyalah sebuah
karya fiksi, cerita rakyat (baca: sastra) bukanlah sesuatu yang turun begitu
saja dari langit. Cerita rakyat lahir dari tengah-tengah masyarakat. Ia ialah
buah permenungan atas dinamika sosial, fenomena sosial dan kecedrungan kolektif
yang ada di tengah masyarakat. Dalam perspektif mimesis, cerita rakyat menjadi
semacam cerminan atau representasi dari realita hidup masyarakat. Kemudian realita
ini dalam proses pembentukannya sebagai suatu karya karya sastra, ditaburi
dengan bumbu-bumbu fiksi sehingga mampu memikat dan membius para penikmat sastra.
Cerita tentang Pondik tentu tidak lahir begitu saja; ia lahir dari hasil
pergulatan dan prose berpikir yang panjang. Meski sebetulnya diciptakan sekadar
untuk menjadi penghantar tidur anak-anak, cerita ini diam-diam menyeret dan
menyiratkan sebuah kondisi sosial; sebuah kondisi yang benar-benar ada di
tengah masyarakat. Begitu pun halnya dengan karakter Pondik itu sendiri. Ia memang
hanyalah sebuah nama seorang tokoh dalam cerita rakyat, namun dalam proses
penciptaannya, karakter itu lahir dari dari realitas yang benar-benar ada dan
nyata. Sadar atau tidak, ia terinspirasi dari sejumlah oknum yang benar-benar
ada di tengah masyarakat; oknum yang cenderung mengedepankan sisi egoisme,
bersikap tamak dan licik. Karakter Pondik adalah replika dari sosok-sosok
egois, tamak dan licik tersebut. Karakter ini bukanlah karakter fiktif belaka.
Sama halnya dengan sisi mimesis karya sastra, ia adalah cermin yang menggambarkan
wujud nyata individu di tengah lingkungan sosial.
PONDIK POLITIK
Dewasa
ini karakter Pondik terlahir kembali, bahkan kian hari kian menjamur. Perkembangan
IPTEK, arus globalisasi, kebutuhan ekonomi yang terus meningkat maupun
tantangan hidup yang makin hari makin keras ialah katalisator yang mempercepat
lahirnya pondik-pondik baru. Karakter ini lahir dalam pelbagai wujud dan rupa;
mereka mengisi sektor-sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial dan
budaya. Mereka lihai berkamuflase sehingga agak sulit dibedakan antara sosok
pondik atau tidak.
Politik
sebagai tema urgen dalam kehidupan bermasyarakat merupakan salah satu sektor
yang banyak menelurkan pondik-pondik baru. Dunia politik seperti tidak pernah
absen memproduksi pondik-pondik baru dalam pelbagai wujud dan rupa. Pondik
politik ialah para pelaku/penggiat politik yang menggunakan gaya-gaya tokoh Pondik
dalam mengejar tujuannya. Istilah ini erat kaitannya dengan Politik Pondik. Politik
Pondik ialah gaya berpolitik yang menghalalkan segala cara, mengadopsi
strategi-strategi licik, memainkan politik kotor, kampanye hitam, kampanye
negatif serta mengedepankan sisi ketamakan dan keegoisannya. Para pondik
politik yang berpolitik dengan idealisme politik pondik kerap menggunakan
cara-cara kotor demi merengkuh posisi, jabatan dan kursi kekuasaan. Sosok ini
ialah sosok yang tak pernah peduli dengan lawan-lawannya; ia kerap memperagakan
kampanye hitam dan kampannye negatif untuk menjatuhkan para lawan politiknya.
Ia memainkan taktik licik; yang ia tahu ia harus mendapatkan apa yang ia
inginkan. Hal terpenting dalam hidupnya ialah bisa mendapatkan posisi yang ia
impikan, tak peduli cara apa yang ia tempuh. Karenanya bermain secara kotor
menjadi hal yang dapat diterima. Kebanyakan dari para pelaku pondik politik
justru berwajah kalem dan sayu; mereka berorasi dengan formulasi yang paling
teduh dan syahdu sehingga sulit dibedakan dengan politikus yang benar-benar
total dan tulus. Para politikus yang benar-benar ingin menjalankan amanah
rakyat dan benar-benar mampu menjadi sosok yang mewakili rakyat justru menjadi
tumbal dari ego politik, politik kotor dan kelicikan para pondik politik.
Musim
pilkada merupakan musim terbaik untuk proses perkembangan dan menjamurnya
pondik-pondik politik tersebut. Di musim-musim pilkada, mereka akan memainkan
kampanye hitam, melempas isu-isu negatif, fitnah, menyebarluaskan isu SARA,
memainkan politik uang atau apalah; si
pondik licik yang paling tahu karena ia punya seribu cara. Seperti halnya
tokoh Pondik dalam serial cerita rakyat, Pondik politik memang orang yang cerdas,
sayangnya mereka menggunakan kecerdasannya itu dan menanggalkan segala etika
berpolitik yang telah mereka terima demi melunasi birahi kekuasaan. Pondik
politik yang terlanjur menjadi Pondik tentu akan sangat sulit mengubah dirinya
ketika meraih jabatan yang diimpikannya. Di bangku jabatan, para pondik politik
akan semakin menampilkan diri mereka yang sebenarnya. Di saat inilah mereka
menyalurkan birahi egoisme dan ketamakan mereka, di saat inilah mereka akan
membagi-bagi jatah proyek bagi rekan sesama Pondik.
Karakter
Pondik memang karakter yang teramat cerdas dan licik; karenanya bukan sebuah
keanehan bila ia mampu mengikuti alur perkembangan zaman. Ia ialah spesies yang
paling lihai berkamuflase dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Ia tahu,
di masa kini rakyat amat menyukai sosok yang merakyat, karenanya di musim
kampanye ia akan bergerilya ke tengah-tengah masyarakat. Ia berkamuflase
menjadi serupa dengan rakyat; bertingkah seolah-olah mau mendengarkan suara dan
aspirasi masyarakat, menghadiri berbagai kegiatan sosial biar lebih kelihatan
sosialis.
Yah
begitulah ia adanya, ia tahu benar sosok ideal yang diinginkan masyarakat. Ia
pandai beradaptasi karena ia paham betul hukum alam yang berlaku yakni: spesies
yang paling mampu bertahan hidup bukanlah mereka yang kuat dan cerdas, tetapi
mereka yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Hukum itu ia
adopsi dalam konteks politik. Ia tahu, ia akan mampu bertahan dengan status dan
jabatannya selama ia mampu menampilkan diri sesuai permintaan pasar
(baca:masyarakat). Menampilkan diri sesuai dengan permintaan masyarakat ialah
hukum wajib dalam beradaptasi dengan iklim dan lingkungan politik (Indonesia). Namun,
ketika ia sepenuhnya tak mampu mengadaptasikan diri sesuai dengan sosok yang
diimpikan masyarakat, ketika ia kalah bermimikri dengan pondik politik yang
lain, atau ketika hadir sosok lain yang lebih merakyat dengan rekam jejak yang
baik, maka ia akan menggunakan insting pondiknya demi menjatuhkan sang lawan. Sejumlah
pertarungan politik di Indonesia telah membuktikan hal tersebut. Isu-isu SARA
akan dimainkan, kampanye hitam akan dikumandangkan dan politik uang akan
disebarluaskan. Apapun akan Pondik politik lakukan demi menuntaskan birahi
kekuasaan.
Di
tengah menjamurnya para pondik politik, sisi rasionalitas kita sebagai
masyarakat kiranya dipertajam agar kita makin lihai melihat dan membedakan
sosok pondik dan sosok yang benar-benar mau membangun keterbelakangan yang kita
alami. Semoga kita makin pandai memilih dan memilah sosok Pondik dan bukan
Pondik! Selain itu, hendaknya tiap kita bisa menjadi agen yang saling
memberikan pencerahan bagi sesama, agar masyarakat tidak terjebak dalam akal
busuk para pondik politik. Sebentar lagi pilkada akan bergulir di NTT kita yang
tercinta, tentu amat disayangkan bila sosok pondik menjadi kapten yang
menakhodai kapal tua kita yang terlanjur rapuh. NTT yang rapuh, akan jadi apa
nantinya di hadapan sosok Pondik?
Ahh,,
Matilah kau PONDIK‼
Opini ini telah dimuat di media VOX NTT edisi 26 Mei 2017. .
selengkapnya bisa diklik pada link:
http://voxntt.com/2017/05/26/politisi-berwatak-pondik/
Komentar
Posting Komentar