Langsung ke konten utama

Bakso, Skripsi, dan Teka-Teki Menjadi Orang Katolik


Foto lama; tidak nyambung dengan isi tulisan. . .

Ruteng, 23 Mei 2018
Malam sudah menunjukkan pukul 23.40 tetapi saya belum juga tidur. Ini semacam persoalan biasa bagi saya, toh biasanya saya tidur pukul satu lewat. Beberapa saat berselang, saya lapar. Saya kemudian ke dapur dan mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan. Di situ ada nasi, tetapi tidak ada sayur. Saya sulit makan nasi kosong. Saya meraba saku saya, puji Tuhan ada uang sepuluh ribu. Lebih baik saya pi beli mi dan telur di mini market samping Sentosa Raya. Oh iya ngomong-ngomong, saya suka ini mini market. Selain karena dibuka 24 jam, pelayannya ramah-ramah dan murah senyum. Saya suka orang yang suka senyum walaupun saya sendiri sulit sekali untuk senyum. Dari segi pelayanan, saya kira ini salah satu yang terbaik di Ruteng. Kebanyakan pelayan di kota Ruteng judes. Saya kalau ke toko kadang malas dengan pelayan atau babanya. Banyak dari mereka yang sudah muka jelek, judes lagi. Cala eme data ranga, di’a koe ba weki. Minimal senyum-lah. . *cling!!
Sampai di sana, ternyata mas-mas yang jual gorengan, nasi goreng, mi ayam dan bakso belum pulang. Saya kira mereka pulang cepat karena lagi bulan Ramadhan, padahal tidak. Saya dekati salah seorang penjual. Dia punya bakso harganya sepuluh ribu. Pas sudah! Daripada masak mi dan telur, lebih baik makan bakso saja. Sambil menunggu baksonya disiapkan, saya duduk di salah satu meja. Beberapa saat berselang dua orang pemuda dengan logat Manggarai Timur muncul dan duduk di samping saya. Satu muka sangar macam Boyka, satu muka kalem macam Griezman yang penyerangnya Prancis. Meski begitu, mereka sama-sama murah senyum dan komunikatif. Sama seperti saya, mereka juga memesan bakso. Dari ekspresi wajah mereka, sepertinya mereka lelah sekali. Mereka semestinya segera beristirahat. Dari percakapan saya mengetahui mereka baru saja melakukan perjalanan jauh dari Labuan Bajo. Ternyata si kalem baru pulang jemput si sangar dari Labuan. Sungguh persahabatan yang luar biasa. Mereka pun mengungkapkan setelah makan bakso mereka hendak melanjutkan perjalanan mereka ke salah satu wilayah dekat-dekat kampung saya, Colol. Mereka tidak memiliki kenalan atau sanak saudara di Ruteng, karenanya mereka berniat untuk langsung melanjutkan perjalanan mereka ke kampung halaman.
Membayangkan perjalaan mereka dari Ruteng menuju Manggarai Timur, saya jadi tergerak; apalagi setelah melihat wajah mereka yang sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan Labuan Bajo-Ruteng. Saya tahu persis kondisi medan menuju Colol ke sana. Banyak lubang dan lewat hutan-hutan. Di malam seperti sekarang pasti suasananya sangat mencekam, kelam, sunyi dan gelap sekali. Kalau terjadi apa-apa di tengah hutan, kasihan kedua orang ini. Kalau terjadi apa-apa, tidak ada yang bisa tolong mereka apalagi di tengah hutan tidak ada sinyal. Saya pun berniat untuk mengajak mereka untuk menginap di rumah saya. Siapa tahu pas besok bangun pagi dan nunduk dengan met genok, toe ata bana ise so. Namun beberapa saat berselang, setelah dipikir-pikir, saya membatalkan niat saya. Saya jadi teringat beberapa pengalaman hidup saya.
Tahun lalu, dalam suatu perjalanan Labuan Bajo-Ruteng sehabis mengantar Dominic Toretto a.k.a mas Joni Nagur, saya “mengangkut” dua orang anak SMP di suatu desa (sekitar beberapa puluh menit dari Labuan Bajo). Saya kasihan melihat kedua bocah ini berjalan kaki di tengah terik matahari yang menyengat; karenanya saya memberikan mereka tumpangan. Sayangnya niat baik saya berujung sad ending karena ternyata salah seorang dari antara mereka diam-diam membuka tas saya dan mengambil selembar uang 50 ribu dan beberapa lembar uang 10 ribu, 5 ribu dan 2 ribu. Syukurlah saya sudah isi ful tengki dan masih punya persediaan uang lain di saku saya (uang kembali isi bensin) sehingga saya masih bisa makan di Lembor. Dan puji Tuhan, dalam perjalanan itu kendaraaan yang saya bawa tidak macet dan error. Pengalaman itu kemudian mengubah saya dan membuat saya enggan memberikan tumpangan kepada pejalan kaki yang saya jumpai di jalan.
Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah berbuat baik dengan membantu salah seorang teman untuk meringankan dia punya regis. Saya ingat persis, malam itu saya nekat tipu uangnya met hanya demi dia karena deadline regis dan dia tidak punya orang yang bisa diandalkan. Setelah semua hal yang saya buat, itu uang menghilang dan berlalu bersama waktu. Mungkin karena perasaan malu dengan diap janji yang dia ingkar sendiri, dia pelan-pelan menjauh dari saya punya hidup. Saya juga malu mau minta. Seiring perjalanan waktu, ingatannya dia melemah dan pembicaraan mengenai uang sudah tidak ada. Mungkin dia sudah lupa atau semacam pura-pura lupa; tapi saya tidak akan lupa itu pengalaman. Kalau dia pura-pura amnesia, semoga dia tidak lupa bahwa kami sama-sama hidup susah. Saya membantu bukan karena saya pejabat yang mau maju caleg. Saya bantu dengan tulus dari saya punya kekurangan karena saya kasihan dengan kondisinya dia. Dia tidak ingat itu. Tapi, sudahlah, tidak guna jauk; hanya bikin tambah pusing. Lagian itu sudah lama sekali dan saya sudah move on meskipun belum sepenuhnya bisa memaafkan diri sendiri setelah tipu met. Semoga upahnya saya besar di Surga. E Tuhan ee??
Di suatu masa, saya juga pernah meminjamkan gitar yang saya beli dengan keringat saya sendiri. Anda tahu kan, meskipun saya bukan pemain gitar yang baik, saya sangat menyayangi benda bernama gitar, apalagi gitar yang saya beli dengan keringat saya sendiri. Harga gitar tersebut memang tidak seberapa, lagian itu cuma gitar KW. Tapi, karena saya beli dengan keringat sendiri, nilai dan harganya itu gitar jadi berbeda. Setelah si peminjam datang dengan segala etika tata karma dan sopan santun, gitar itu kemudian ia kembalikan sebagai almarhum. Ia cuma bisa garuk-garuk kepala dan tidak punya niat untuk ganti. Ase kae, Anda sadis!
Ada juga beberapa kisah tentang orang-orang yang mungkin pura-pura lupa ingatan. Saya pernah meminjamkan buku-buku, modul dan flash disk; yang sampai sekarang keberadaannya tidak jelas. Seperti hilang ditelan waktu. Beberapa orang pernah bon pulsa dan pura-pura lupa. Beberapa juga pernah bon pulsa listrik, lalu pura-pura lupa. Itulah sebabnya usaha pulsa saya gulung tikar sebelum sayap-sayap bisnis saya berkembang. Beberapa di antaranya lagi pernah bon print makalah dan pura-pura lupa lagi. Pengalaman-pengalaman semacam ini membuat saya terus bertanya; bagaimana caranya menjadi orang baik?
Atau beberapa waktu lalu atas nama kebaikan dan kepedulian, di ruas jalan Anam-Ruteng kami pernah “memuat” seorang nenek tua yang ternyata bisu dan gila. Syukurlah dia tidak membawa senjata tajam. Masih ada begitu banyak pengalaman saya dan pengalaman orang lain tentang kebaikan dan ketulusan yang berakhir tragis. Teman-teman mungkin pernah mendengar kisah seorang ojek di sebuah hotel yang motornya dibawa lari oleh penumpang hanya dengan alasan hendak membeli pulsa, atau apalah kisah-kisah lain di sekitar lingkungan teman-teman sekalian.  Sambil menyantap bakso, saya jadi ingat modus-modus kejahatan lain yang sering terjadi di pemberitaan media; yang terjadi dengan memanfaatkan kebaikan orang lain; yang berawal dari perasaan sedih dan iba.
Kembali ke kedua orang ini, si sangar dan si kalem. Saya akui, saya kasihan melihat kedua orang ini. Saya tergerak dan merasa iba melihat kedua orang ini jalan tengah malam; di tengah dingin, jalan yang rusak dan dengan kondisi fisik yang benar-benar terkuras. Saya kemudian teringat pada kisah Injil Matius bab 25:31-46 tentang Penghakiman Terakhir.  Pada ayat 35 Yesus menyinggung tentang orang asing yang adalah penjelmaan diriNya lewat kalimat “ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan”. Yesus meminta saya untuk memberikan tumpangan kepada orang asing, karena mereka adalah penjelmaannya Yesus. Dalam hati saya bertanya: Apakah kedua orang ini juga penjelmaannya Yesus? Bukankah kedua bocah yang tahun lalu saya tumpangi, saya perlakukan sebagai Yesus? Yesus, KAU terlalu ambigu. KAU lupa jelaskan bagaimana ciri-cirinya KAU pada itu orang asing. Kami yang hidup di zaman edan sulit bedakan orang asing yang adalah penjelmaannya KAU dan penjelmaannya iblis. Sekarang ada begitu banyak iblis yang menjelma menjadi manusia dan memanfaatkan kebaikan orang lain. Atas nama kebaikan, ketulusan, kepedulian dan landasan biblis Matius 25:31-46 orang-orang semacam ini kami bantu; tetapi kemudian segalanya bisa saja berakhir tragis.
Sebelum pertanyan dan teka-teki tentang naas Kitab Suci berakhir, saya tiba-tiba jadi ingat judul skripsi saya tentang nilai-nilai karakter. Dalam pembagian karekter utamanya om Thomas Lickona, dia menekankan tentang sikap positif dan cinta. Lalu dalam pembagiannya Kemendiknas, ada nilai peduli. Bagaimana saya harus menempatkan diri di tengah situasi semacam ini. Saya tahu bahwa sikap positif, cinta dan peduli adalah hal-hal yang harus saya jalankan, tetapi di sisi lain, si sangar dan si kalem ini adalah orang-orang yang saya tidak kenal. Apakah atas dasar sikap positif, cinta, kepedulian dan kebaikan saya harus mengajak kedua orang asing ini, sementara di sisi lain saya takut jangan-jangan mereka orang tidak baik. Sudah ada begitu banyak pengalaman tentang kebaikan manusia yang yang berakhir tragis.
Di rumah ada barang elektronik yang lumayan mahal dan dibeli dengan susah payah. Ada beberapa perangkat elektronik yang mudah dibawa semisal TV, receiver, speaker, keyboard, kamera, HP, laptopnya Densi dan Ender Gio, printer, motor yang kuncinya digantung begitu saja di pintu kamar dan apalagi ada laptop dinas. Kalau saya berbuat baik dan tiba-tiba mereka memanfaatkan kebaikannya saya, bagaimana coba? Kalaupun mereka orang baik dan tiba-tiba muncul mereka punya niat jahat, bagaimana? Ingat, kejahatan muncul karena ada kesempatan! Bukankah beberapa kisah tragis yang sudah saya ceritakan di atas berawal dari perasaan iba dan kesempatan yang terbuka lebar? Karena hal ini, saya kemudian jadi tidak tahu harus berbuat apa. Semacam mau peduli tetapi tidak bisa benar-benar peduli.
Sampai bakso kami habis, saya belum bisa memutuskan apakah mengajak mereka ke rumah atau membiarkan mereka terus melanjutkan perjalanan mereka. Kami kemudian bercakap-cakap cukup lama. Saya memberi mereka rokok, kebetulan sisa 3 batang; cukup untuk kami bertiga. Setelah rokok habis, mereka kemudian pamit dan menghilang di pertigaan bank BRI Cabang Ruteng. Saya pun pulang dengan dilema yang tidak tuntas.
Sebelum tidur malam, saya mengambil Rosario dan berdoa,” Tuhan yang Maha Baik, sudah tepatkah yang saya perbuat? Ajarilah saya caranya menjadi orang baik! Dan juga semoga si sangar dan si kalem tiba dengan selamat. .”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...