Pelayanan bulanan anggota TPK Elar, Tetes, dan Toang KSP Kopkardios Ruteng selama dua hari benar-benar bikin semaput. Pencairan deviden dan pencetakan buku anggota membuat pelayanan menjadi lebih lama dari biasanya. Semalam pelayanan di TPK Elar baru selesai pukul 19.30; biasanya pukul 14.00 sudah selesai. Seperti biasa, Pater Laurens Kuil dan tanta-tanta di pastoran paroki Elar melayani kami dengan sangat baik; seperti biasanya juga Moat banyak membantu dan mempermudah aktivitas pelayanan kami. Seperti bulan-bulan sebelumnya, mulutnya bau sopi. Katanya, dia tidak semangat kalo tidak minum sopi; semacam ada bagian yang kurang dan hampa tanpa sopi. Ia mengingatkan saya pada kakek saya yang tidak bisa hidup tanpa sopi. Tiap hari ia selalu minum. Telah lama ia berpulang; namun ingatan tentangnya dan botol-botol sopi masih tersimpan di kepala kami, anak-cucunya. Situasi mereka mungkin sama dengan situasi saya yang sulit tanpa kopi; kepala saya sakit sekali kalo tidak minum kopi. Saya biasanya minum dua gelas kopi sehari; pada saat pagi dan sore hari. Tubuh saya sepertinya sudah memiliki ketergantungan yang tinggi dengan kopi; absen minum kopi memaksa salah satu bagian dalam tubuh saya memberontak dan itu menyebabkan kepala saya sakit sekali.
Kami meneruskan perjalanan ke Toang dan tiba di sana sekitar pukul 22.00. Kami singgah sebentar di Tetes untuk melakukan pelayanan anggota. Sejak sore mereka setia menunggu kami. Biasanya kami melakukan pelayanan di Tetes sekitar pukul 16.00. Hari ini kan kami sibuk to, makanya terlambat! Jadwal Tetes dan Paji menjadi berantakan. Di Tetes kami juga disuguhkan kopi. Lambung saya memang kosong, tetapi saya tidak bisa menolak karena saya sudah mulai ngantuk dan lelah; saya butuh kopi biar bisa semangat kembali. Kami bergerak lambat. Medan wilayah Elar memang sangat buruk. Teman saya yang menyetir Dodo a.k.a Japi belum terbiasa dengan medan ini. Ini pertama kalinya ia melakukan pelayanan ke wilayah Elar, pas malam hari lagi. Beberapa hal dalam konteks apa saja pasti perlu pembiasaan biar bisa mahir to? Kita bisa karena biasa, dibiasakan, membiasakan diri, atau karena terbiasa. Kurang lebih seperti itu.
Berbicara mengenai medan Elar; medan ini memang sangat menjengkelkan apalagi untuk makhluk-makhluk ‘langu’ macam saya. Perjalanan terasa seperti sebuah salib meskipun pesona alam di wilayah ini mampu memanjakan mata karena keperawanan alamnya masih terjaga. Saya bersyukur karena hampir di semua tempat pelayanan, termasuk di Elar, kami selalu dilayani dengan sangat baik. Anggota dan masyarakat Elar sangat ramah. Saya selalu menyukai anggota dan orang-orang ini. Setiap kali ada pertemuan selalu ada kopi. Kopi Elar rasanya nikmat sekali; aromanya kas dan selalu bisa menghapus peluh dari perjalanan Ruteng-Elar yang panjang dan kejam. Kehangantan perjumpaan dengan anggota dan masyarakat Elar pun selalu sehangat kopi; selalu ada cerita dan gelak tawa yang mereka bawa. Meski saya kesulitan memahami apa yang mereka katakan; yang pasti saya merasakan suasananya hangat.
Hari kedua saya melakukan pelayanan di TPK Toang. Pa Kadiv, Om Pepin, dan Dodo melakukan pelayanan di Mboeng dan Kai. Pelayanan saya di hari kedua juga menyita waktu lebih lama, meski tak selama Pa Kadiv dan Om Pepin. Pekerjaan kami memang menjadi lebih lama dari biasanya karena pembagian deviden. Kami Cuma membawa dua printer; dan kedua-duanya dipakai oleh Pa Kadiv dan Om Pepin. Karena itu di Toang tidak diadakan pencetakan buku, saya mengumpulkan buku-buku anggota untuk dicetak di kantor pusat.
Pukul 14.00 saya sudah selesai melakukan pelayanan. Saya makan dengan sangat lahap; macam orang baru liat makanan. Masakan Mama Skolastika selalu enak. Sambil menunggu teman-teman, saya bermain ukulele bersama koordinator kami dan keluarganya. Bapa Dami, Mama Skolastika, Wewe, dan Adora bernyanyi semangat sekali. Dua anak ini punya bakat menyanyi. Mereka tahu cara mengambil nada dari kunci yang saya pakai, mereka tahu tempo, mereka tahu ketukan, tahu kapan masuk-kapan berhenti. Mereka mengingatkan saya pada beberapa penyanyi menjengkelkan yang kadang saya temui; kadang salah ambil nada, kadang tidak tahu ketukan, kadang tidak tahu kapan masuk. Menurut saya tahu ambil nada dasar, tahu ketukan, tahu tempo, tahu kapan masuk lalu tahu kapan diam; merupakan salah lima faktor penting dalam menyanyi. Ķan percuma suara bagus tapi tidak tahu itu hal-hal teknis to?
Setelah sekian lama, sekitar pukul 17.00 Pa Kadiv, Om Pepin dan Dodo tiba. Kami ngobrol sebentar lalu pamit. Dalam kondisi yang lelah dan berantakan, perjalanan terasa lebih jauh. Ketika meninggalkan wialyah Elar, langit perlahan-lahan menjadi gelap; jangkrik pun mulai berbunyi. Syukurlah, alunan musik menemani perjalanan kami. Saya selalu menyukai perjalanan dengan musik. Bagi saya mendengarkan musik bisa membuat mood kita menjadi lebih baik; efeknya kita menjadi lebih semangat. Untuk menghilangkan rasa jenuh, sepanjang perjalanan saya menyusun catatan ini pada HP saya. Sudah lama blog dan akun kompasiana saya berlumut.
Memasuki wilayah Mombok, kepala saya sakit sekali. Hari ini saya cuma minum satu gelas kopi; tepatnya di pagi hari. Sore ini saya belum minum kopi. Tadi siang, memang saya sempat ditawari kopi tetapi saya menolak. Saya lelah sekali; kepala saya sakit sekali; perut saya lapar sekali; dan tubuh saya dingin sekali. Berkali-kali saya menggerutu dalam hati. Perjalanan ini masih sangat jauh. Ruteng seperti menjauh,
Di tengah situasi seperti ini, saya jadi iri dan mau menjadi seperti Shiva; bocah dengan slogan ‘aku bukan anak kecil, Paman!’ yang punya sepeda canggih dan bisa terbang. Saya merasa, Ruteng kalo ditempuh lewat udara dalam jalur lurus sepertinya tidak terlalu jauh. Perjalanan yang banyak tikungan -mengikuti model bukit- dan medan yang sangat buruk membuat perjalanan menjadi lebih lama. Kasian orang-orang Elar dan orang-orang di wilayah-wilayah pinggiran lainnya, termasuk NTT; dianaktirikan dalam banyak hal.
Saya senang ketika mobil memasuki jalan yang lumayan baik; artinya mobil bisa gas tinggi dan jarak kami dengan warung makan makin dekat. Kepala saya masih sakit; perut saya makin lapar; dan saya belum berhenti mengerutu. Di wilayah Puar Lewe ada pelebaran jalan dan pembuatan kali. Beberapa orang terlihat beristirahat di base camp yang terletak di pinggir jalan. Mereka hanya ditemani cahaya kecil dan musik yang sepertinya berasal dari HP. Di tengah cahaya suram dan alunan lagu, mereka terdengar sedang ngobrol dengan asyik dan tertawa.
Dalam keadaan jingut, saya tersentak ketika Dodo bilang, "Baoo mai aku mengeluh one nai, tapi lelo ata so pande aku sadar beruntung tung mose agu pekerjaan ho daku.” (Dari tadi saya mengeluh dalam hati, tetapi ketika melihat orang-orang ini saya sadar betapa beruntungnya hidup dan pekerjaannya saya!)
Seketika saya juga tersadar dan jadi malu dengan diri sendiri. Ucapan lepas dari Dodo seperti menampar saya. Dalam banyak hal, saya terlalu sering mengeluh dan lupa caranya bersyukur dengan apa yang telah saya peroleh dalam hidup. Orang-orang ini bekerja dengan sangat keras di bawah terik matahari dan hujan badai, jauh dari keluarga untuk waktu yang lama, terasing di tengah gelap, waktu istirahat dan asupan gizi mereka sepertinya tidak seimbang dengan pekerjaan mereka, tidur dan kedinginan di tengah base camp yang seadanya; tetapi mereka masih menikmati hidupnya, mereka menikmati pekerjaannya. Masih ada banyak orang di luar sana yang hidup dan kehidupannya lebih keras, tetapi mereka slow dan enjoy-enjoy saja; tidak macam saya -dan kita2- yang dalam banyak hal suka sekali mengeluh.
Malam telah menunjukkan pukul 21.00 dan kami hampir memasuki wilayah Watu Cie. Ruteng kini telah dekat, meski begitu momen di base camp masih mengganggu saya. Ada banyak pertanyaan dan pernyataan yang memenuhi rongga kepala saya. Saya memutuskan untuk menyimpan HP dan catatan ini, beserta pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang mengganggu ujung perjalanan saya di hari ini. Saya simpan untuk sebentar malam dan hari esok; saya mau makan sungguh-sungguh di warung Padang dekat Telkom.
Perjalanan Elar-Ruteng, 3 Juli 2020.
Komentar
Posting Komentar