Langsung ke konten utama

SYUKURAN KELUARGA

Pa Rober dan Barisan Ema. Foto oleh: Rista Lagur.
*

29 Oktober 2020

Pagi ini langit cerah sekali. Kami baru saja menyelesaikan rangkaian acara adat. Sebentar lagi akan diadakan misa syukuran. Meski langit cerah, hati saya belum sepenuhnya cerah; saya masih saja merasa gelisah. Sekarang lagi musim hujan. Jangan-jangan sebentar awan hitam akan bergerak ke atas langit-langit rumah kami kemudian hujan turun. Hujan memang berkat; tetapi di situasi-situasi tertentu seperti sekarang ini ia bisa menjadi petaka.

Rm. Vitalis, pastor paroki Biting sedang sibuk. Karena itu ia tidak dapat memimpin perayaan ekaristi. Sebagai gantinya, perayaan ekaristi dipimpin oleh Rm. Ferdi, pastor paroki Watunggong. Rm. Ferdi  memimpin misa dengan sangat baik dan memberikan kotbah yang sangat bagus. Banyak imam bisa memimpin misa dengan baik, tetapi tidak semuanya bisa membuat saya terkesima dan merinding seperti yang terjadi pada perayaan ekaristi kali ini.

Entah mengapa, selama perayaan ekaristi saya merasakan aura yang berbeda pada pastor ini. Tidak pada semua perayaan ekaristi saya merasakan nuansa yang sakral dan mistis semacam ini. Pada perayaan kali ini saya merasakan nuansa ekaristi yang mistis dan sakral, terutama pada saat momen persembahan dan penghormatan terhadap tubuh dan darah Kristus. Apakah karena kehadiran wura agu ceki, ataukah karena diselimuti roh kudus, atau karena kedua-duanya; saya tidak tahu.

Rm. Ferdi memberikan kotbah yang sangat bagus. Ia omong dengan sangat panjang lebar tentang syukur dan kasih. Syukur ialah bukti bahwa manusia mengimani Tuhan, demikian kata Rm. Ferdi. Sementara itu, kasih adalah tali utama yang menopang ikatan manusia; tanpa kasih takkan ada ikatan yang kuat. Manusia wajib mensyukuri segala hal; salah satunya mensyukuri ikatan kasih yang kuat.

Meski panjang lebar dan memakan banyak waktu, namun kotbah Rm. Ferdi seperti tidak terasa; mungkin karena ia menyampaikan kotbahnya dengan sangat menarik, dengan contoh-contoh yang kontekstual, dan tentunya diselingi humor-humor ringan yang menghidupkan suasana. Selama ia berkotbah, saya mengamati reaksi, ekspresi, dan tatapan mata para umat. Dari sana terlihat mereka menghayati dan menikmati kotbahnya; tidak ada yang main HP atau menyibukkan diri dengan kesibukan lain.

Pada banyak perayaan ekaristi yang pernah saya ikuti, masih ada beberapa umat yang malas mendengarkan kotbah dan sibuk bermain HP. Pada perayaan ekaristi ini tidak. Saya kagum dengan wawasan dan public speaking Rm. Ferdi. Pada saat yang sama saya jadi mau sekali untuk menjadi pembicara yang luar biasa sepertinya. 

Ketika perayaan ekaristi memasuki bagian penutup, kegelisahaan saya (kami) kian memuncak. Awan gelap bergerak perlahan dari sisi selatan dan menaungi langit-langit rumah kami. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun; dan saya menduga akan selebat hujan kemarin sore. Perasaan kami sekeluarga campur aduk.

“Mori, besi keta di’aM, asi koe usang!” keluh saya dalam hati.

Rangkaian acara pada hari ini masih panjang. Kalo hujan turun, nanti akan ada banyak hal yang berantakkan. Setelah perayaan ekaristi kami akan makan siang bersama. Ruang hidangan dirancang terbuka; tidak naungi oleh sing atau terpal. Ia tidak didesain untuk mengantisipasi hujan; bukan karena kami malas tetapi karena kami tidak memiliki persediaan sing dan terpal yang cukup. Kalau hujan turun, acara makan-makan dan acara-acara selanjutnya akan terganggu.

Pasukan dapur mengangkat dan menyusun bahan makanan dengan perasaaan yang gelisah. Beberapa kali saya melihat Kaks Njewik dan Fr. Jeli menyusun alat dan bahan makanan di meja hidangan sambil menengadah ke langit dengan tatapan yang sedikit pasrah. Bapa Saya, Bapa Koe Jeli, dan Bapa Tua Anton juga terlihat tak bisa menyembunyikan kecemasannya. Kalo saja saya punya skill toka usang; saya akan geser ini awan gelap ke wilayah persawahan Rebing.

Pada titik ini, kami menaruh harapan penuh pada Tuhan. Meski rintik gerimis mulai jatuh satu persatu, kami tetap PD untuk mengakut dan menyusun bahan hidangan. Kami percaya, hujan tidak akan turun. Kami percaya Ema Lagur dan Ende Ndaung juga berdoa kepada Tuhan; kami percaya Tuhan mendengarkan doa-doa kami. Dan kepercayaan itu benar-benar terjadi. Puji Tuhan, hingga malam hujan tidak turun dan kami merayakan acara kami dengan penuh sukacita. Barangkali rintik gerimis yang sempat jatuh sengaja Tuhan kirim untuk menguji keyakinan dan iman kami. Hehehe.

Kaka Gusti rupanya MC yang sangat berkelas, saya baru tahu sekarang. Ia memandu acara dengan sangat luar biasa kocaknya. Satu persatu anak-anak dan cucu-cucu Ema Lagur dan Ende Ndaung dipanggil (maju ketampil) ke panggung untuk menyanyi, berbagi pengalaman, atau untuk sekadar ngoap (diksi de Kae Gusti).

Saya terharu ketika Bapa Tua Sius, Bapa Tua Anton, Bapa Oman, Bapa Koe Jeli, dan Pa Rober berdiri di panggung untuk menyanyi (walaupun sebetulnya hanya Pa Rober dan Bapa Koe Jeli yang menyanyi). Dari semua golongan Ema, saya mendapat pelajaran penting bahwa hanya Bapa Koe Jeli yang bisa menyanyi; yang lainnya hanya bisa istirahat di tempat. Bapa Tua Anton dan Bapa Oman sepertinya hanya bisa lagu Dere Serani, Yubilate, dan Madah Bakti; Bapa Tua Sius barangkali hanya bisa nenggo dan lagu jejong empo; Bapa Koe Hanes apalagi.

Bapa Tua Anton dan Pa Roda (Romanus Dasur) tidak bisa bernyanyi. Sebagai gantinya, mereka menceritakan pengalaman masa kecil mereka. Toh, Kaka Gusti selaku MC sudah bilang terserah mau buat apa saja sampe depan panggung.

Saya tak bisa menahan air mata saya ketika Pa Roda  menceritakan pengalaman dan kisah masa kecil mereka. Perjalanan hidup dan masa kecil mereka berat sekali. Saya menangis untuk perjuangan mereka dan untuk pilihan mereka agar tidak menyerah, juga untuk kami-kami sebagai anak dan cucu mereka yang kini sudah semakin banyak dan bertumbuh dewasa.

Kaka Wili dan Barisan Inang. Foto oleh Rista Lagur.
Momen lain yang menyentuh saya pribadi ialah ketika Kaka Wili menyanyikan lagu Lelak Loce Renda. Pada saat itu ia memanggil ketiga Inang kami yang tercinta untuk tampil. Dan luar biasa, Inang-inang ini ternyata tak hanya bisa teneng, pua kopi, ako, rede, tawi, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya.  Inang Moni dan Inang Tere ternyata bisa bernyanyi dengan sangat baik. Inang Tina juga pasti bisa menyanyi dengan baik meski pada momen kali ini ia memilih tuk berdiam diri sambil menangis; seperti sedang berlari ke ingatan-ingatan tentang masa kecil mereka.

Lagu Lelak Loce Renda dinyanyikan secara bersama-sama oleh seisi anggota keluarga dan undangan. Di sisi kanan panggung, tepatnya di pintu masuk, saya melihat Mama Koe Jeli mengusap air matanya karena perasaan terharu. Mama Koe Jeli memang orang yang perasaannya sensitif. Bendungan air matanya mudah jebol; tadi pada saat misa juga ia menangis karena terharu. Ia kemudian naik ke panggung dan memeluk ketiga Inang kami; Bapa Tua Sius kemudian mengikuti apa yang dibuat oleh Mama Koe Jeli.

Exel, Kae Bi, Kae Agus, dan Kesa Nando bernyanyi. Tanta Anye dan Tanta Elin juga tak mau kalah; demikian pun halnya dengan Trio Kaka Tea - Mama Nei - Kaka Lelik yang pantang mundur saat dipanggil untuk menyanyi. Banyak pihak keluarga yang menyumbangkan suara emas dan suara besi tuanya.

Melihat mereka-mereka ini menyanyi, saya juga tidak mau kalah. Saya tergerak untuk menampilkan eksistensi diri sebagai penyanyi KBG Pitak X. Selain itu, nilai seni musik saya A, masa saya mundur. Yah, walaupun mental saya muncul pada saat botek-boteknya.

Omong-omong soal botek, hari ini saya memang botek mati punya. Saya biasanya tidak nyanyi dan goyang. Kalo berani nyanyi dan goyang di pesta, berarti sudah oleng sekali. Kandi juga botek; Ancik, Koni, Kae Njewik, Emad Naisa, Emad Viani juga demikian; Kae Agus apalagi. Hanya Kae Bi, Exel dan Fr. Jeli yang tidak minum banyak; sepertinya jiwa asrama mereka masih tertanam kuat.

Kami (pasukan pelayan) memang minum banyak sekali hari ini. Sedari kemarin kami sudah menahan hasrat kami untuk minum sopi karena rangkaian acara masih banyak dan masih ada terlalu banyak hal yang harus kami bereskan. Tadi malam saya dan Kandi mau sekali untuk minum; dan puji Tuhan kami berhasil menahan diri. Kalo layan anak wina-anak rona dalam keadaan mabuk kan tidak baik, kalo ikat dan bunuh babi dalam keadaan oleng kan tidak bagus, kalo mabuk sebelum semua hal beres kan bisa repot dan kena damprat.

Hari ini setelah semua rangkaian acara selesai, kami melepas lelah dan penat. Kami sudah berkomitmen dari jauh-jauh hari. Segala peluh dan lelah seperti pelan-pelan terhapus bersama tegukan demi tegukan. *Cheerrsss‼

Kalo mabuk kita biasanya jadi lebih jomel dan punya banyak cerita. Banyak orang yang jadi berani dan vokal pas sudah mabuk. Sopi memang bisa membangun banyak cerita. Oiaa, omong-omong soal cerita; acara kali ini punya banyak cerita yang menarik.

Salah satunya: karena terlalu mabuk dan karena cahaya lampu yang suram, dua orang pria yang terbangun di tengah malam sempat makan pakang. Kedua pria tersebuk tidak akan saya sebutkan di sini. Saya menjaga privasi dan nama baik mereka. Hehehe.

Kisah lain soal mabuk yang perlu saya abadikan melalui catatan ini ialah soal Kandi yang dua kali ke rumah gendang untuk bertemu tu’a teno. Dia ketemu tu’a teno sambil tipa cerek sopi. Entah apa yang mereka bicarakan; dia juga sudah lupa. Saya menduga mungkin dia berdiskusi dan bertukar pikiran tentang langang yang sempat Bapa Tua Anton singgung. Banyak kisah lain, akan terlalu panjang jika saya uraikan satu per satu pada catatan ini.

**

Saya kembali terbangun di pagi 30 Oktober, sekitar pukul 01.00. Genset baru saja dimatikan. Saya masih mendengar suara anak-anak muda dari luar kemah. Seiring berjalannya waktu mereka pelan-pelan bubar. Sisa-sisa mabuk semalam masih membekas di kepala saya. Saya tidak ingat persis bagaimana caranya saya tidur; semoga bukan orang yang angkut dari lantai acara bebas.

Saya menutup mata dan bersyukur kepada Tuhan untuk banyak hal. Salah satu syukur terbesar saya ialah karena sampai sekarang Ende Ema agu Inang Amang kami yang tercinta masih sehat dan diberi umur yang panjang. Ema Lagur, Ende Ndaung, Mama Tua Dora, Amang Nadus, Enu Nan, dan malaikat kecil Maria Erdis Lagur; yang telah berpulang tentu tersenyum melihat pasukan yang kini telah bertambah banyak.

Ende Ema-Inang Amang terima kasih sudah kasi contoh yang baik kepada kami tentang cara menjadi manusia dan menjalani hidup sebagai manusia dengan segala dimensi kemanusiaannya.

 

Ruteng, 3 November 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...