Carlo Lagur; binatang berakal budi yang menyukai binatang liar. (Foto: Ichan Lagur) |
Beberapa minggu terakhir, adik saya, Carlo senang menikmati tayangan chanel National Geographic. Sepertinya ia menyukai binatang-binatang liar yang tentu saja tak pernah ia temui secara fisik. Dalam kesehariannya, ia memang akrab makhluk domestifikasi semacam anjing, babi, ayam, kucing, kerbau, sapi, dan sebagainya; namun tidak dengan kuda nil, ular, singa, serigala, buaya, simpanse, dan binatang liar lainnya.
Saya juga menyukai tayangan-tayangan ini karena menambah skemata tentang binatang liar. Tentang kuda misalnya: kalo seekor kuda sakit, ia akan memiliki kecendrungan untuk menyendiri. Menyendiri dalam artian mengasingkan diri dari komunitasnya. Itu yang saya ingat. Apakah binatang lain juga kecendrungan serupa? Saya kurang tahu.
Hal lain yang didapat ialah: ternyata (hampir setiap) kelompok binatang hidup dalam suatu komunitas, meskipun ada juga tipe binatang yang introvert. Binatang sama dengan manusia, atau lebih tepanya manusia sama dengan binatang lainnya. Pada situasi tertentu binatang memerlukan waktu untuk menyendiri, di sisi lain mereka menyadari pentingnya bersosialisasi. Keinginan untuk merasa aman, insting akan pentingnya hidup dan bergerak dalam tim menjadikannya bersatu dengan suatu komunitas binatang tertentu.
Konsep makhluk individu - makhluk sosial pada binatang ini mirip dengan manusia. Kalo tidak salah dalam filsafat manusia, konsep ini disebut monodualis. Artinya manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa manusia dan binatang sama-sama monodualis; sama-sama punya dimensi individu dan sosial.
Berbicara mengenai kelompok, ternyata banyak kelompok binatang yang memiliki pemimpin. Wah, hebat ini. Kelompok binatang rupanya menyadari keberadaan pemimpin sangat penting guna mengatur arah gerak tim. Tanpa pemimpin, kelompok binatang akan kocar-kacir. Setiap organisasi manusia sekecil apa pun bentuknya pun demikian; butuh pemimpin.
Binatang memiliki caranya masing-masing untuk memilih pemimpin. Gajah Afrika misalnya: mereka memilih gajah betina tertua sebagai pemimpin. Hmm, rupanya mereka memakai konsep matriarki. Apakah pada suatu waktu di masa depan gajah-gajah jantan akan mengampanyekan konsep kesetaraan gender, seperti feminisme yang kita gaungkan sekarang? Kita tidak tahu.
Toh bukankah pada zaman dahulu kala, peradaban awal manusia tidak pernah menduga bahwa di masa depan (di masa kita sekarang) ada gerakan feminisme. Siapa tahu pada waktu-waktu mendatang karena proses evolusi kelompok gajah Afrika juga akan mengalami revolusi kognitif seperti yang dialami sapiens sebagaimana yang ditulis Om Yuval Noah Harari; lalu mereka omong panjang lebar soal kesetaraan gender!?
Kalau pada gajah Afrika demikian, pada hyena Afrika berlaku konsep dinasti. Pemilihan pemimpin pada kelompok binatang ini ditentukan oleh garis keturunan. Pada golongan ini ada semacam suatu sistem darah biru dan darah biasa (maksudnya golongan yang bukan menjadi bagian garis keturunan pemimpin).
Mereka memakai konsep golongan bangsawan dan golongan binatang biasa. Pasti senang sekali rasanya menjadi hyena Afrika yang met-nya bos e. Itu yang saya bayangkan. Apakah hyena Afrika yang menjadi bagian dari keturunan pemimpin merasa senang atau justru merasa tertekan? Kita tidak tahu.
Pada binatang lain semacam simpanse, pemimpin (alfa) ialah binatang terkuat. Ukuran kuat dalam dunia per-simpanse-an ditentukan melalui pertarungan satu lawan satu. Ngong raha sina ce’e pe! Siapa yang menang, dia yang jadi pemimpin.
Fakta lain soal cara binatang memilih pemimpinnya dapat kita liat di yutup atau gugel. Tiga contoh di atas hanyalah beberapa dari sekian banyak cara yang dipakai binatang.
**
Oiaa, berbicara mengenai pemimpin kelompok; besok, 9 Desember 2020 kita akan memilih kepala daerah. Besok kita punya proses pilkada serentak. Omong-omong soal pilkada, pilkada selalu punya dinamika tersendiri; apalagi untuk konteks pilkada satu lawan satu. Pasti lebih rame dan heboh.
Di wilayah Mabar yang -didaulat super premium- ada empat pasangan calon; dengan demikian massa terbagi menjadi empat kubu. Saya tidak begitu mengikuti silang pendapatnya orang-orang Mabar di media maupun media sosial, namun saya menduga dinamikanya mereka-mereka tidak sepanas di Manggarai karena ada empat kubu. Itu dugaan saya.
Di Manggarai ada dua pasangan calon. Mungkin karena hanya ada dua calon makanya suhu politik Manggarai begitu panas. Di beranda dan di grup-grup diskusi rame orang mengelu-elukan jagoannya masing-masing, rame juga yang caci maki paslon lawan, rame juga yang saling caci maki sebagai sesama pendukung, rame juga hoax. Itu yang saya lihat.
Alih-alih dibuat sebagai ruang diskusi dan berbagi ide, grup diskusi media sosial malah lebih banyak menghadirkan fitnah dan caci maki; berseliweran akun anonim yang saling mencela satu sama lain. Pokoknya kalau beda halua,n kita baku maki dan gigit sudah! Banyak hal yang saya lihat di beranda buat sakit mata; makanya selama beberapa bulan saya memutuskan menonaktifkan akun FB saya. Belakangan saya mengaktifkannya kembali lalu dengan susah payah (terpaksa) menghapus beberapa teman yang hobi maki-maki.
Perbedaan pilihan dan fanatisme yang berlebihan bahkan sampai ke ranah hadang menghadang dan pertarungan fisik (silakan baca di media soal pendukung yang mengaku dianiaya pendukung paslon lain). Beberapa hari yang lalu juga saya membaca dua pemilik akun dipolisikan karena bahasa yang salah. Tak ada pertarungan ide seperti yang selalu kita agungkan dan banggakan.
Saya (dan mayoritas masyarakat) tidak mendapatkan banyak penjelasan tentang vivi misi, konsep pembangunan Manggarai ke depan, dan pertarungan ide seperti yang selalu kita dengungkan. Timses dan pendukung kubu yang satu berteriak soal PERUBAHAN; namun belum sepenuhnya bisa menjelaskan perubahan seperti apa yang mau dibuat. Intinya perubahan saja. Pada timses dan pendukung kubu yang lain lantang menyuarakan LANJUTKAN; namun belum sepenuhnya bisa menjelaskan hal-hal (baik) apa yang mau dilanjutkan. Intinya lanjutkan.
Menurut saya; selain melalui debat paslon, kalau kita mau dapat gambaran tentang ‘mau diapakan ini Manggarai oleh para paslon’, barangkali salah satu (untuk tidak menyebut satu-satunya) diskusi terbaik yang mencerahkan ialah diskusi yang disiarkan oleh salah satu stasiun radio swasta yang menghadirkan Pa Nik Deki dan Pa Manto Tapung.
Kalau mau dapat dari sebagian besar timses, jangan harap. Bahkan saya menduga, sebagian timses tidak tahu visi misi paket yang ia dukung. Kebanyakan dari mereka adalah tipe manusia lemah yang hobi maki-maki di medsos dari dalam selimut lalu mendaulat diri sebagai pemain politik.
***
Setelah proses yang panjang, kita sampai ke titik yang sama di mana kita menyadari pilkada di hari ini masih sama dengan pilkada-pilkada sebelumnya di Indonesia. Hampir-hampir tidak ada pendidikan politik; selain pendidikan bahwa kita memang tidak pernah benar-benar belajar dari sejarah.
Setiap tahun politik kita selalu masuk ke fase yang sama: caci maki, ujaran kebencian, fitnah, kampanye hitam, baku serang, baku gigit, baku hajar, macam-macam. Maaf saja, kita mesti jujur mengakui bahwa cara kita bertarung mengingatkan kita pada cara simpanse yang lebih banyak pake otot.
Barangkali sapiens terlalu narsis; membangun tembok dikotomi yang tinggi dengan binatang lain. Kita memang telah lama mengidentifikasikan diri sebagai makhluk yang spesial di alam semesta; namun diam-diam pada banyak situasi konsep pertarungan kita dalam banyak aspek kehidupan (salah satunya dalam konteks pilkada yang sedang kita ikuti) menunjukkan bahwa kita tetaplah binatang.
Salam dan selamat berdemokrasi, Sapiens!
Ruteng, 8 Desember 2020
Komentar
Posting Komentar