Langsung ke konten utama

CATATAN LATSAR '21

Di Kisol. Foto oleh Excell Lagur.

 *
Tepat pukul lima, alarm HP kami berbunyi. Kami harus segera mandi dan bergegas. Penerbangan menuju Ende memang dijadwalkan pukul delapan; namun kami memilih untuk bergegas lebih awal. Dalam setiap penerbangan, lebih awal selalu lebih baik bukan? Bandara berbeda dengan terminal travel, karena itu kau tidak boleh telat. Kalo dengan travel, kau bisa bebas pilih travel; kalo di bandara, kau cuma punya satu kesempatan jadi harus atur diri sendiri dengan baik supaya tiket tidak hangus.
Setelah minggu-minggu yang melelahkan kami akhirnya kembali ke rumah.  Tiga minggu terakhir, banyak hal yang berantakan. Di tengah jadwal penyusunan soal ujian, saya harus membuat kegiatan aktualisasi di kelas, menganalisis nilai, menyusun laporan, bimbingan dengan mentor, revisi laporan, dan seterusnnya dan seterusnya. Sumpah, bikin hahal.
Saya menghabiskan dua minggu terakhir bulan Mei dengan begadang. Sembilan hari di bulan Juni juga dilanjutkan dengan begadang. Muka pucat, darah habis, kantung mata makin terlihat. Awal Juni yang huru-hara dan sibu ribuk sekali telah menguras banyak stamina dan isi dompet.  Betapa berat dan melelahkannya perjuangan ini.
Terima kasih untukmu diriku, yang telah berjuang dengan baik walaupun sering banyak mengeluh. Saya tidak selalu setuju kalo orang bilang jangan mengeluh. Saya kira, mengeluh tapi bekerja itu lebih baik daripada mengeluh tapi tidak bekerja, apalagi tidak mengeluh dan tidak bekerja sama sekali. Hehehe. . Itu menurut saya.
Pagi ini El Tari begitu padat. Orang-orang dari berbagai penjuru terlihat begitu terburu-buru. Lambung saya pedis, tadi tidak sempat sarapan. Di ruang tunggu kami hanya memakan roti dan meminum sebotol air mineral; cukuplah untuk topang lambung sampe di Ende. Bagi orang Manggarai, makan berarti ada sesuatu yang kau sebut sebagai nasi. Jadi kalau orang Manggarai memakan sesuatu yang bukan nasi, maka itu bukan aktivitas makan, tak peduli sebanyak apa roti yang kau makan. “Dion kin hang hang”, kurang lebih begitu ungkapannya orang Manggarai. Benar juga e.
**
Bagi saya penerbangan Kupang-Ende yang memakan waktu 55 menit rasanya lama sekali, mungkin karena saya fobia terbang. Saya duduk di kursi dekat jendela, dekat sayap pesawat. Perasaan saya sangat gelisah tiap kali melihat baling-baling pesawat. Hati saya kacau sekali tiap kali kepala saya tiba-tiba ingat adegan film di mana penumpangnya panik saat pesawat mengalami gangguan. Saya benci ini isi kepala yang suka bayang sembarang. Capeh dan gelisah sendiri jadinya.
Deru mesin dan tiap guncangan kecil membuat isi kepala saya berjalan ke mana-mana; ke kematian dan hal-hal yang belum tuntas dalam kehidupan saya. Saya selalu takut dan berpikir mungkin ini saat-saat terakhir saya melihat dunia. Saya selalu benci naik pesawat walaupun sewaktu kecil saya selalu bermimpi untuk naik pesawat. Ini isi kepala kenapa begitu tah dehh!?
Terbang di atas ketinggian 27.000 kaki dengan kecepatan 550 km/jam membuat saya merasa diri begitu kecil. Saya dan orang-orang ini hanyalah debu di alam semesta. Kehidupan kami dalam pesawat kecil ini ditentukan oleh setiap elemennya. Pesawat membuat kita mengerti betapa pentingnya tiap komponen termasuk baut kecil yang biasa kita tendang, buang, dan anggap remeh. Kalo salah satu baut kecil terlepas dari posisinya, maka bisa saja kerja mesin ini terganggu lalu ia meluncur bebas dengan kecepatan tinggi dan kami semua tamat.
55 menit menjadi waktu refleksi dan kontemplasi yang paling bermakna. Meski memakai headset dan memutar lagu dengan sangat kencang, hati dan kepala saya tertuju pada kematian, siluet altar dan wajah TUHAN YESUS. Dan setelah menit-menit yang menakutkan, puji Tuhan kami bisa mendarat dengan selamat. Betapa leganya perasaan saya. Terima kasih, TUHAN‼
***
Hari ini kota Ende cerah, secerah senyuman setelah sebulan bertarung dengan kegiatan dan laporan aktualisasi yang melelahkan. Kami langsung meluncur ke salah satu penginapan yang dekat dengan bandara, tempat minggu lalu kami menginap dan menitipkan sepeda motor kami.  Namanya penginapan Nurjayah, harganya cuma Rp75.000,- untuk tiap orang per malam.
Penginapannya sederhana, fasilitasnya seadanya tapi pelayanan mereka sangat baik dan yang paling penting kita masih bisa tidur dengan nyenyak to? Tidur bukanlah sesuatu yang bisa kau beli dengan harga kamar yang mahal. Jadi, besyukurlah kalo kau jadi satu dari sekian banyak orang yang hanya butuh waktu sekian menit untuk bisa terlelap. Banyak orang yang susah tidur, walaupun berada dalam kamar yang mahal atau berada dalam rumah yang mewah.
Ibu pemilik penginapan dan petugas penginapan Nujayah sangat ramah. Saya menyesal lupa menanyakan namanya. Padahal saya sudah berjanji untuk bawa diap penginapan dan diap nama di ini catatan perjalanan. Terlepas dari itu, kami sangat berterima kasih karena mereka telah melayani kami dan menjaga sepeda motor kami dengan baik; tidak ada goresan, mantel dan helm masih aman.
Setelah berpamitan, kami melanjutkan perjalanan pulang. Fisik saya sangat lelah, saya memacu sepeda motor dalam keadaan mengantuk. Perjalanan Ende-Nangaroro sepanjang garis pantai pada ruas jalan yang cukup luas dan sepi dengan angin sepoi-sepoi membuat saya makin mengantuk. Beberapa kali saya melewati as jalan dan curi jalurnya orang.
Saya merasa sangat lelah. Membayangkan perjalanan Ende-Ruteng, saya jadi menggerutu dalam hati. Brengsek, masih jauh sekali e. Betapa menjengkelkan dan melelahkannya ini perjalanan sebentar.  Mampus saya!
Pada perjalanan menuju Nangapanda, dua bocah terlihat sedang bersepeda dan mengangkut rumput. Mungkin untuk kambing mereka (soalnya di sepanjang jalan saya menemukan banyak kambing). Mereka berpeluh di bawah panasnya matahari demi menghidupi ternak yang menjadi sumber penghidupan mereka. Semangat sekali anak-anak ini.
Saya jadi ingat dengan masa kecil kami yang biasa mencari makanan babi di sepanjang kali menuju Woang. Kalo sore hari (sekitar dua kali seminggu) met juga biasa paksa ke kebun ambil batang pisang untuk babi. Adik, berterimakasilah dengan kalian punya orang tua yang sudah didik dengan keras. Hidup memang keras e. Nanti pas su besar kalian rasa manfaatnya.
Melihat semangat dua bocah ini, saya jadi malu dengan diri sendiri karena sudah mengeluh (dengan perjalanan) dan sering mengeluh (dalam banyak hal).  Saya juga jadi ingat, tadi di gerbang kota Ende pas lagi tunggu Exel isi bensin, saya melihat seorang ojek sedang menghitung uang hasil ojeknya pagi ini. Ia terlihat kelelahan tapi matanya macam berbinar-binar ketika menghitung pecahan uang dua ribu, lima ribu, dan sepuluh ribu.
Dia pasti sangat senang; paling tidak ada makanan untuk orang-orang rumahnya di ini hari dan minimal besok. Tadi bapa tua di bengkel kayu di pinggir kota Ende juga kelihatan capeh tapi dia semangat sekali bekerja. Mereka sudah ajarkan, kalau mau hidup harus punya semangat kerja. Hidup memang keras. Boleh mengeluh tapi jangan lembek dan harus tetap terobos. Kalo capeh istirahat dulu sebentar setelah itu lanjutkan lagi perjalanan.
Saya sering sekali mengeluh dengan beban pekerjaannya saya. Saya sering lupa di luar sana banyak yang belum dapat pekerjaan yang mereka inginkan. TUHAN sudah percayakan pekerjaan yang baik bagi saya. Nanti harus tanamkan semangat kerja yang baik. Negara sudah bayar mahal; jadilah guru yang luar biasa dan jangan cuma main ludo. Hehehe. .
****
Dalam perjalanan Bajawa-Aimere, ban depan saya meledak dan menyebabkan spakbor  pecah. Bannya sudah terlalu tipis; gesekan dengan aspal menyebabkan panas dan membuat ban dalam meledak. Memang sudah terlalu lama tidak diganti dan diap bunga-bunga su habis. Perjalanan Ruteng-Ende dan Ende-Kajuala sudah buat diap ban makin tipis. Bulan ini saya belum punya cukup uang dan hanya fokus pada biaya akomodasi ke Kupang. Minggu lalu saya cuma ganti oli dan ban belakang, harusnya minggu lalu diap ban depan juga diganti.
Saya memang jarang memperhatikan sepeda motor saya, padahal ia adalah salah satu nyawa dari pekerjaan saya di samping laptop dan HP. Tanpa motor saya tidak mungkin bisa bekerja dengan lancar di SMPN 1 Poco Ranaka. Saya (kita) memang jarang berterima kasih dengan benda-benda yang sudah membantu kita dalam beraktivitas dan bekerja; jarang rawat dengan baik juga e.
Saya sedih sekali ketika harus paksa itu motor jalan sekian kilometer dari Kajuala sampe ketemu bengkel di Aimere. Semoga velexnya tidak bengkok; sbab kalau bengkok, panjang dan ribet lagi urusannya. Di bengkel; ban dan binen diganti namun spakbornya belum bisa diganti karena tidak ada spare part.
Setelah perbaikan selesai, kami istirahat dan makan di Waelengga. Ibu pemilik warung liat kami dengan tatapan sayu; mungkin karena kami makan macam orang baru liat makanan. Tahukah kau wahai ibu pemilik warung, kami sangat kelelahan baik fisik maupun psikis!? Berhentilah menatap seolah-olah kami ini alien‼
Hari sudah sore. Matahari pelan-pelan bersembunyi  di ufuk barat. Perjalanan masih jauh. Kami melanjutkan perjalanan dan puji TUHAN tiba dengan selamat dan damai sentosa di rumah. Lama dan melelahkan sekali ini perjalanan tadi.
Terima kasih TUHAN!

Jumat, 11 Juni 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...