Langsung ke konten utama

Perihal Kerja

*
Manusia punya banyak dimensi. Salah satunya ialah manusia sebagai makhluk yang bekerja. Dalam kajian filsafat manusia kita mengenalnya dengan istilah homo faber. Bukan homo homini lupus, yah!
Manusia bekerja agar ia menghasilkan uang, biar bisa beli makan, memenuhi kebutuhan hidup, termasuk untuk lagak-lagak. Saya memegang prinsip: semua pekerjaan itu baik selama tidak mencuri dan tidak menyusahkan orang lain. Karena itu, tidak perlu gengsi. Kita tidak bisa makan itu gengsi!
Oiaa, untuk siapa pun di luar sana yang sedang membangun usaha, semoga usahanya makin berkembang. Dan siapa pun di luar sana yang sedang mencari pekerjaan, semoga cepat mendapatkan pekerjaan yang diimpikan.
Saya percaya dengan salah satu ungkapan yang mengatakan: kalau mau umur panjang dan hidup bahagia, kita harus bahagia dengan apa yang kita kerjakan. Artinya kita harus bahagia dengan pekerjaan atau profesi kita. Dari uraian ini muncul pertanyaan baru: apa itu bahagia? Apa itu bahagia dengan pekerjaan?
Ada orang yang mematok kebahagiaan dalam dunia kerja dengan besaran rupiah yang ia dapat. Di sisi lain, ada juga kelompok orang yang mendefinisikan kebahagiaannya dengan kepuasan batin yang ia dapatkan dari pekerjaannya. Ada juga yang melihatnya dari waktu luang yang ia miliki bersama orang-orang terdekatnya. Tiap orang bebas mendefinisikan kebahagiaannya masing-masing. Diri sendiri yang paling tahu: apa itu bahagia bagi diri saya sendiri?
**
Dulu saya berpikir kehidupan dan pekerjaan saya akan sangat menyenangkan jika saya diupah dengan sangat baik (ngong gaji mese pe, kut gelang bora. Hehehe. .). Saya telah berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lainnya, entah itu pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya maupun pekerjaan yang jauh berbeda dengan latar belakang pendidikan saya.
Setelah tamat, akhir 2018 lalu, saya mengikuti seleksi untuk menjadi pimpinan di salah satu perusahaan penjualan sepeda motor. Kami mengikuti beberapa tahapan seleksi selama kurang lebih satu bulan di Bali. Setelah tahapan-tahapan yang panjang dan melelahkan, puji Tuhan saya terpilih.
Saya gemetar saat menandatangani surat perjanjian kerja setelah HRD menjelaskan sistem penggajian. Maklum, tidak pernah terbesit dalam benak bahwa saya akan langsung digaji dengan angka yang wow.Saya menitikkan air mata, karena saya mendapatkan pekerjaan yang saya impikan.
Sebagai PIC gaji saya tidak main-main. Sistem penggajiannya sangat baik dengan berbagai macam jenis tunjangan. Pada masa kontrak selama dua tahun ini, saya mendapatkan uang lelah yang sangat lebih dari cukup. Bisa dibilang setara PNS golongan IV A dengan masa kerja yang lama.
Kalo jualan bagus dan melampaui target, saya akan mendapatkan bonus sehingga bisa mendapatkan uang lelah setara orang-orang penting di dinas. Gaji yang saya dapatkan bisa dibilang lebih dari cukuplah untuk lagak-lagak. Hehehe. . Apalagi kalo su jadi pegawai tetap ini.
Setelah dua tiga minggu bekerja, saya merasa diri bekerja seperti mesin. Berangkat pukul 08.00 lalu pulang pukul 17.00. Beban dan tuntutan pekerjaan yang tinggi biasanya membuat saya pulang pukul 19.00 dan telat makan.
Sebagai orang baru, ada banyak hal baru yang harus saya pelajari kembali, terutama berkaitan dengan sistem. Saya lebih banyak masuk lebih awal dan pulang malam karena mengejar deadline. Kalau pun sudah sampai di kos, saya tidak sepenuhnya bisa beristirahat dengan tenang, apalagi kalo pada hari tersebut jualan saya tidak mencapai target harian.
Saya tidak bisa makan dan beristirahat dengan tenang. Biasanya, baru beberapa menit makan atau beristirahat, sering ada telepon masuk dari pimpinan saya. Pimpinan berbentuk badan direksi. Poli ata ca, cain kole ata ca. Saya kurang begitu nyaman berada dalam situasi lelah lalu dibentak oleh beberapa orang atasan. Mori, co tara nggon duat ho.
Setelah sebulan, saya merefleksikan pekerjaan saya. Saya merasa mati mampus. Berat badan turun, muka pucat, badan macam baru habis main futsal terus saja. Hidup saya hanya dihabiskan di depan laptop. Saya tidak banyak mengenal teman baru di kota ini. Teman saya hanyalah orang-orang yang terbangun dari urusan pekerjaan. Fisik dan psikis selalu dalam keadaan lelah. Haloo, ini kerja atau dikerjain?
Setelah menimbang-nimbang, saya kemudian memutuskan untuk berhenti. Keputusan ini mengecewakan banyak pihak keluarga. Betapa melelahkannya jika tiap kali bertemu selalu membahas soal momen resign dari pekerjaan.
Sebagian besar dari mereka cuma berpikir soal besaran gaji yang diterima, tanpa pernah berpikir soal variabel lain semacam: beban pekerjaan, pengaruh pekerjaan ke kesehatan fisik dan psikis, waktu luang, dan lain sebagainya.
Saya malas jika harus berdebat dan menjelaskan semuanya. Saya sendiri yang tahu apa yang saya pilih. Saya mau merumuskan segala sesuatu sendiri, karena saya yang paling tahu apa yang saya alami dan saya rasa.
Setelah keluar dari pekerjaan tersebut, saya sempat bekerja sekian bulan pada instansi pemerintah dan LSM. Setelah itu, selama setahun lebih saya bekerja pada lembaga keuangan koperasi sebagai seorang staf divisi.
Pada ketiga tempat ini, gaji saya pas-pasan. Jenis pekerjaannya pun tidak seperti ketika di perusahaan motor di mana saya bekerja di depan komputer. Saya harus banyak turun ke lapangan dan melalui medan-medan rasa jengkel: panas-panasan dan hujan-hujanan sudah jadi makanan pokok. Tulang ekor dan tulang punggung adalah sasaran utama setelah seharian mengendarakan sepeda motor.
Gajinya cukuplah, meski tidak sampai setengah dari gaji ketika saya berada perusahaan motor. Meski begitu saya menyukainya karena segala sesuatu dikerjakan dengan slow, tanpa ada bentak2 sampai tengah malam. Saya punya banyak waktu luang bersama keluarga dan teman-teman. Ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika saya banyak menemukan orang-orang dan hal-hal baru di lapangan.
Kini saya bekerja sebagai seorang abdi negara pada salah satu sekolah di wilayah Manggarai Timur (Matim). Matim adalah kampung saya; dan dalam banyak aspek ia lebih sering dibangun dalam narasi yang buruk. Jarak tempuh sekolah sedikit jauh dan hampir tiap hari saya menemukan banyak dinamika yang lumayan bikin sakit kepala.
Meski begitu, saya bangga bisa menjadi bagian kecil dari suatu rencana besar membangun Indonesia, secara khusus membangun daerah yang saya cintai, Matim. Saya membentuk anak didik, sekaligus dibentuk oleh kemajemukan mereka. Di tempat kerja ini saya punya cukup waktu bersama orang-orang terdekat saya.
***
Kebahagiaan dalam konteks pekerjaan tidak selalu soal rupiah yang kita dapat. Di luar sana, ada orang yang digaji dengan sangat besar tetapi kehilangan waktu istirahat dan waktu bersama orang-orang tercintanya.
Saya punya beberapa kenalan yang memiliki gaji yang besar namun kerap mengeluh soal waktu istirahat yang tidak cukup. Mereka merasa bekerja seperti mesin. Istirahat itu kan bagian dari kebutuhan biologis, psikologis, dan sosiologis, to?
Beberapa di antaranya juga mengeluh soal kesepian karena juah dari keluarga dan “terasing” dari relasi sosial akibat tingkat kesibukan dalam bekerja. Mereka punya banyak uang, tapi merasa kehidupan begitu kosong.
Apa kalian yakin mereka-mereka itu bahagia menjalani hidup hanya karena rupiah yang mereka dapat? Yakin mereka selalu terlelap dengan tenang dan damai? Mobil mewah dan rumah mewah yang mereka miliki tidak menjamin tidur mereka lebih nyenyak.
Ada juga yang digaji sangat tinggi, tetapi menjalankan pekerjaan dengan resiko yang sangat tinggi pula. Golongan ini ialah golongan orang-orang yang tak tahu apakah mereka akan pulang hari ini atau tidak.
Ada juga orang-orang yang penghasilannya begitu kecil tetapi memiliki banyak momen bersama orang-orang terkasihnya. Kalian pikir mereka punya pikiran mumet terus karena persoalan finansial?
Walaupun cuma punya rumah sederhana dan motor tua, tidak berarti bahwa mereka tidak lebih tentram dan damai dari orang-orang yang punya aset lebih besar. Justru mereka-mereka ini tidurnya lebih nyenyak dan lebih punya banyak waktu untuk menertawakan hidup.
Begitu sudah. Tiap orang ada dalam kotak situasi yang berbeda. Segala sesuatu tidak selalu seperti yang terlihat. Daripada sibuk menerka-nerka sesuatu yang tidak terlihat, menurut saya yang paling penting bagi diri kita sendiri ialah percakapan: saya mau masuk ke kotak yang mana. Saya bahagia menjalani kehidupan yang seperti apa?
Kita sendiri harus tahu jawabannya dan harus berani menjalaninya!
Bo sa pribadi biar gaji pas-pas asal tidur lebih nyenyak dan lebih banyak waktu ncingis dengan orang-orang terdekat e sen..
Kalian mau kehidupan dan pekerjaan yang bagaimana e?

Komentar

  1. Padahal danong dite tulisan ho g,ho kat d bacan laku. Terima kasih pencerahan ho e kraeng.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pernah berada pada titik lelah bekerja dan tidak punya waktu untuk hahahihi dgn shbt n keluarga. Dari penglman itu sy menyadari gaji besar tdk menjamin kenyamanan dan bisa menyita banyak waktu kita. Bersyukur sekarang sudah merasakan bagaimana menikmati banyak waktu bersama keluarga

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...