Langsung ke konten utama

LIXA

21 April 2023
Besok hari pertunangan kami. Pikiran saya campur aduk. Ada banyak hal yang berputar-putar di kepala: perasaan bahagia, senang, was-was, kecemasan, ketakutan, dan lain sebagainya. Saya terus menyalakan api rokok dan mondar-mandir tak tentu arah. Saya selalu merasa, merokok bisa membuat pikiran jadi lebih tenang. Mungkin itu cuma sugesti.
Saya membaca pesan di WA. Pikiran saya tambah mumet. Dari kemarin pacar saya, Risna sakit. Di H-1, ia tidak juga membaik. Sedari kemarin, ia merasakan kesakitan pada area perutnya. Hari ini, rasa sakitnya tidak juga mereda. Bahkan ia makin merasa sakit dan perih.
Sepanjang hari ia hanya berbaring di tempat tidur, dan tidak ikut membantu aktivitas di dapur. Biasanya ia sangat semangat, apalagi banyak keluarga yang berkumpul di rumahnya.
Ia juga tidak bisa makan. Makanan yang ia telan, ia muntahkan kembali beberapa saat berselang. Badannya lemah sekali.
Pukul 15.00, kami memutuskan untuk ke dokter. Ia dicek di apotek Medika Farma. Mukanya pucat dan badannya lemah sekali. Beberapa kali ia meminta saya untuk memijit tangannya sekeras mungkin karena ia merasa lemah dan seperti mau pingsan. Pikiran saya kian kacau.
“Tuhan Yesus, campe koe ami!
Demikian doa yang terus saya daraskan dalam hati.
Setelah dicek oleh dokter, ada dua kemungkinan. Pertama, mag. Selama bekerja, pola makan Risna memang tidak beraturan. Tingkat kesibukan yang tinggi kadang membuatnya lupa jam makan. Am nggo taen ata basa basi tae “enu, jangan lupa makan!” ho. Oo weta!
Kemungkinan kedua, ialah akibat bakteri pada makanan yang dikonsumsinya. Usus Risna termasuk tipe usus yang sensitif dengan makanan. Ia bukanlah tipe orang yang bisa makan sebarang. Ia harus hati-hati dan selektif saat memakan sesuatu. Sering saya ingatkan, hanya saja jiwa gangga-nya yang tinggi kadang bikin saya malas berdebat. Ai toe ma kut kalah’n ata ho.

Malam harinya saya tidak bisa tidur. Saya terus mengkhawatirkan kondisinya. Saya terus mengupdate soal kondisi fisiknya lewat pesan WA, sesekali kami melakukan VC. Ia tidak juga membaik.
“Sayang, makan banyak dan minum obat. Langsung istirahat! Besok pagi pas bangun harus sudah sembuh!” demikian pesan saya.
Sampai tengah malam, saya belum juga bisa tidur. Selain mengkhawatirkan kondisinya, saya terus memikirkan kata-kata apa yang harus saya sampaikan sebelum mengenakan cincin ke jari manisnya besok. Saya kesulitan menyusun kata-kata bahasa Manggarai. Kalau gombal dalam bahasa Indonesia, gampanglah! Hehehehe. .
Malam itu, saya terus belajar merangkai kata sampai akhirnya terlelap dengan susunan kata yang berantakan dan tak selesai. Saya omong apa besok!?

22 April
“Kk Ichan, saya rasa su mendingan!”
Pagi ini, saya bersyukur karena kondisi Risna pelan-pelan membaik. Obat yang dikonsumsinya memberikan pengaruh yang cukup baik, walalupun belum sepenuhnya sembuh dan masih merasa kurang fit. Badannya masih lemah dan belum bisa makan.
Perasaan saya kian bercampur aduk; bahagia, was-was, senang, cemas, takut, gelisah, dan lain sebagainya. Detak jantung berdebar tak menentu. Rasa macam demam panggung saja. Banyak hal berputar di kepala, beberapa hal kecil mengganggu hati dan pikiran. Semoga bisa lewati segala hal dengan baik.

Siang ini, keluarga dari Pawat sudah datang. Saya merasa dikuatkan dan merasa tidak sendiri. Saya bersyukur karena meskipun secara jumlah keluarga kami terbilang kecil, para orang tua kami memberikan contoh yang sangat baik tentang caranya menjadi solid dan kuat. Semoga hal yang sangat baik ini bisa kami teruskan ke anak cucu kami kelak.
Kami makan siang bersama, ganda-ganda, dan mendiskusikan beberapa hal penting terkait agenda kami malam ini. Setelah sekian lama ngobrol, kini waktu sudah sore. Kami segera bersiap-siap karena sebentar lagi berangkat. Sesuai rencana, kami berangkat pukul 18.30.
Kami diterima dengan sangat baik oleh pihak anak rona. Mereka melayani dengan sangat baik dan maksimal. Saya bersyukur karena memiliki mertua yang luar biasa dan masuk dalam lingkungan keluarga tulus. Terima kasih Tuhan.
Tongka dari kedua belah pihak menjalankan tugasnya dengan baik. Saya tidak ingat persis apa yang mereka bicarakan. Hanya sesekali saya ikut tertawa dengan candaan yang mereka buat.
Berada di tengah-tengah ruangan lalu menjadi pusat puluhan pasang mata membuat saya merasa sangat canggung dan gugup. Beberapa kali adik saya tertawa karena saya menghela nafas panjang. Tubuh saya ada di situ, tetapi jiwa dan pikiran saya ada melayang entah ke mana. Hehehhe. .
Pembicaraan kedua tongka terkesan santai dan tidak alot. Tak terasa pembicaraannya sudah selesai. Sepertinya baru sebentar kami duduk di ruangan tengah, lalu tiba-tiba sampai ke momen toto molas. Mungkin karena pikiran saya masih melayang ke tempat lain.

Risna masuk dengan kebaya merah dan bali belo yang menghiasi kepalanya. Seperti biasa, ia selalu cantik dengan balutan senyum yang meneduhkan. Bali belo dan songke bermotif emas yang dikenakannya menambah kesan estetis. Betapa saya sering lupa, manisnya gadis ini.
Ehemm, lagak diha baca bagian ho ge. .
Saya menatapnya sedalam mungkin. Pasti senyumnya tercipta ketika Tuhan sedang good mood, makanya -mengutip Illo Djeer- imus’n mecik neho nderu Cina. Betapa beruntungnya gadis ini bisa jadian dengan saya. Hahaha. . Iya to Adela!?
Ingatan saya kembali ke titik-titik awal ketika kami memutuskan untuk menjalani semuanya bersama. Dulu sebelum jadian sering jalan-jalan ke Golo Curu untuk sekedar berbagi dan menjadi telinga satu sama lain.
Setelah sekian purnama, ungkap perasaan di Golo Curu saat hujan biar ada kesan dramatis dan romantis. Saat itu, saya ditolak. Hahahaha. . Sok tolak e!
Setelah saya mengirim sekian banyak lirik lagunya Padi dan Dewa, lalu berusaha meyakinkan berulang-ulang, akhirnya ia luluh dan mau. Malam itu, 10 Agustus, -ia mengaku- ia menangis; entah menangis bahagia atau sedih. Hanya ia dan Tuhan yang tahu.
Risna ialah tipe yang sulit dan pelit untuk bilang love you! Ia agak gengsi untuk mengucapkan ungkapan-ungkapan kasih dan sayang seperti itu.
Meski begitu, segala cara, perilaku, dan bahasa tubuhnya menunjukkan kasih, sayang, dan cintanya yang luar biasa. Darinya saya belajar, kasih, sayang, dan cinta bukanlah sesuatu yang cukup diucapkan, tetapi sesuatu yang mesti ditunjukkan.
Betapa banyak orang di luar sana yang dengan mudahnya mengungkapkan bahasa kasih, sayang, dan cinta namun sulit menunjukkan dalam sikap dan tingkah laku. Saya menemukan sesuatu yang berbeda pada gadis yang luar biasa ini. Dan karenanya saya merasa beruntung.
Ada banyak hal dan dinamika yang telah dilewati bersama, bahkan sampai ke fase putus asa dan memutuskan untuk berhenti dan jalan masing-masing. Setelah proses yang panjang, akhirnya bisa berada di titik ini.
Perjalanan masih panjang, semoga kita bisa saling menjadi partner yang baik. Semoga bisa meredam ego dan bisa menjadi manusia yang lebih baik.
Terima kasih untuk semua yang menjadikan segalanya menjadi mungkin.
Terima kasih untuk orang tua yang telah melahirkan maupun yang tidak melahirkan.
Terima kasih untuk semua; semua orang berhak atas terima kasih.

Galeri:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...