Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2015

“LADY DIANA”

(22/06/15   09:46) Garis wajahmu yang kian menua Jadi saksi perjalanmu yang panjang. . . Segala wujud dan rupa kerasnya dunia Pernah menjadi bagian dari langkah kakimu. . . Sakit dan tangismu tak pernah terlihat, Terselubung di balik senyumanmu yang teduh. . Sakit dan tangis itu tersimpan rapi dalam relung jiwamu, Tanpa seorangpun yang tahu getir dan pedihnya. . . Ragamu kian melemah termakan arus waktu, kini hanya semangat dan arti hidup yang coba kau titipkan. . . Katamu dalam suaramu yang kian parau: “Nak, mungkin ini bisa jadi bekalmu kelak, tetaplah hidup‼” IBU, jika esok kupunya sedikit uang saku. . . Tak banyak yang kan kubeli. . . Akan kubelikan sepasang sandal baru, Agar kemurnian surga di alas kakimu tetap bercahaya. . . #Love you so much MOM

DILEMA

(03/06/21    21:55) Ketika kurebahkan tubuhku di pangkuan malam, Sesuatu yang lain dari dalam diriku kembali bersuara. . . suara-suara itu kembali mengusik tidur malamku, hingga katupan kelopak mataku makin sulit tuk kukedipkan. . . Pada belahannya yang lain ia bisikkan: “Teruskanlah‼” Sementara belahannya yang lain bisikkan: “Berpalinglah,, akan ada masanya kau kan terbisa tuk menjadi biasa‼” Dan lagi-lagi seperti kemarin; Tak ada jawaban yang didapati, Sbab dunia mimpi (lagi-lagi) membawaku pergi hingga kicauan burung membangunkanku dalam pagi yang risau. . .

EDENKU MALANG

(19:20, 17/02/15) Indah dan agungnya karyaMU, Terpahat dalam kesempurnaan alam yang KAU titipkan. . Sungai dan tanah subur yang KAU limpahkan, Adalah bukti cintaMU pada kami. . Membentang hijau gugusan pulau, Berbaris di antara perairan yang kaya. . Nusantaraku yang kaya, Cerminan Eden Surgawi. . Tak perlu kucari lagi Eden yang mereka ceritakan. . Kutahu Nusantaraku; sekeping Eden di katulistiwa. . Hijau permai bak Jamrud, Membuka mataku tuk sadar betapa besarnya kasihMU. . Namun eloknya itu hanyalah cerita, Kemurnian dan keindahannya dihancurkan, Terinjak di kaki tamak penghancur alam. . Ahh,, betapa malangnya Edenku ini. .

PERTIWI MENANGIS

(23:03, 10/10/14) Pertiwi menangis, Menahan pedih dihujam jemari-jemari tamak. . Eloknya tak lagi terlihat, Terinjak di kaki-kaki tuan penguasa. . Dan tangisannya kian membesar, Ketika sekujur tubuhnya terus ditelanjangi, Ketika keperawanan dan jiwanya dilukai, Demi sebongkah harta imitasi. . Tegakah kau melihatnya? Tidakkah kau merasa kehilangan? Pada suara merdu kicauan burung, Pada berjuta satwa yang ramah menyapamu? Jangan biarkan ia menangis lebih lama lagi! Jangan biarkan eloknya tinggal cerita‼ Sbab dengan apa lagi kita kan hidup, Jika penghidupan kita tak lagi hidup?? Jika kau merasa memilikinya, Mari genggam erat tanganku dan runtuhkan egonya‼ Biar peluru menatap tajam, kita usir mereka‼ Mereka yang keji dan tertawa di atas pesakitannya. . Kau tahu, tak ada yang lebih berharga dari alam yang tersenyum. . Usir bajingan-bajingan ini‼ Kembalikan mereka ke neraka‼ Ke tempat di mana semestinya mereka berada‼

TAKKAN MENYERAH

Dayung ini kan terus kukayuh walau pulau itu tak jua tersama, Meski ia kian terasa mustahil tuk kurangkul, Kian menghilang dan tenggelam di balik sabut kelabu. . Pelitakupun kan terus bernyala. . Tak peduli meski badai terus menampar, Atau mungkin sapuan badai terus menerjang. . Tetap kupastikan asanya kan tetap benderang, Meski terkadang ia tak lagi berpijar sejauh tak berhingga. . Walau terik tak lelah membakar raga, Asaku kan tetap berpijar menuju yang tertinggi‼ Yang terbaik kugantungkan di depan keningku, Itulah penuntunku tuk menggapai mimpi. . Sekian lam kumendayung, Ragaku kian melesuh bersimbah peluh. . Dan ketika semua berpendar pada sisi kelamnya, Aku makin tertatih. . Aku letih, aku tergontai, aku tersungkur. . “TAKKAN MENYERAH!” Perahu kecilku kan terus kukayuh. .

BISU

Selalu ada satu yang berbeda kala siang berganti rupa menjadi malam, Pengusik yang membuatnya tak lagi sama dengan gelak tawa di hari-hari kemarin. . Seakan riuh itu memudar, Tak lagi berpendar pada peradabannya. . Hanya diam, tak lagi bergeming, Terpatri pada kop yang sama; Tanpa syair, tanpa nada, tanpa ketukan. . Coba kuusir resah itu dengan alunan gitar tua, Tapi sepertinya ia juga enggan bercengkeramah. . Akupun kian terjebak dalam sejuta tanya tapi masih tak tahu harus berbuat apa. . Menepi serasa tak lagi berarti, Berlari tapi raga tak lagi bernyawa, So, mestikah kunikmati cara ia membunuh dalam kehampaanya? #Darat tha, pande de LUANG‼

KUKIBARKAN BENDERA PUTIH

Langitku kini mendung kelabu, Tak lagi secerah sunrise pagi. . Langkahkupun kian tergontai, Tak berarah dan kian berarogan. . Secercah suar di lembayung senja kini tak lagi tersamar, Kian menjauh, memudar dan tenggelam. . Langkahku kian terseok, Berpijakan pijar-pijar lara memilukan. . Entah seperti apa rupa senja yang kujunjung, Mungkin tak lagi benderang secerah punyamu.   Mungkin cuma menyisahkan menyisahkan pekat kelam. . Ahh, terserah angin mau dibawa ke mana. . Langkahku kian melemah,, Rasanya kan berujung sia-sia. . Dan perlahan-lahan kubisikkan: “malam larutkan aku dalam waktumu, Kulelah dengan sandiwara ini. .”

LOGY. .

Sunriseku merah kemuning merona. . Menyelinap di balik pundak-pundak bukit, hangatkan jiwaku, mendekap dan tak terjamah kerasnya dunia. . Tapi aku masih bukan apa dan siapa. . Aku hanyalah bias dan pengecap dari sunset yang kau lukis‼ Terpasung di bawah pangkuanmu, bahkan hingga mentari berlabuh di pelupuk ubun-ubunku. . Dan tentang secercah jingga di ufuk barat, Tak pernah kutahu rupanya kan seperti apa? Hanya langkah yang terus berlari, sembari bertanya: ‘punyaku, adakah ia seindah sunrisemu?’ ‘Adakah kan secerah sunsetmu’