Langsung ke konten utama

JIWA KATOLIK YANG TERLAHIR KEMBALI DI PESAWAT

(Catatan ini merupakan catatan yang saya buat di akhir tahun 2018. Saya menemukannya di dalam hardisk. Sayang kalo tidak disimpan di blog.)

*

Bajawa, Akhir Desember 2018

Puji Tuhan, hari ini saya pulang. Setelah satu bulan lebih mengikuti barisan trainning dan ujian yang melelahkan, saya akhirnya bisa pulang. Setiap perjalanan, setiap orang; pasti merindukan dan menyukai pulang.

Mobil grab yang saya tumpangi bergerak menuju bandara I Gusti Ngurah Rai dalam kecepatan sedang. Sopirnya seorang bapak tua berusia sekitar 50-an tahun. Ia ramah sekali dan suka banyak bertanya; tentang saya, kegiatan saya di Bali, dan tentang tempat asal saya Ruteng-Flores.

Mobilnya terawat, rapi, bersih, dan wangi. Ia sopir senior yang mengendarakan mobilnya dengan sangat baik dan halus; sepertinya ia sudah menyatu dengan mobil dan jalanan. Beberapa sopir pada mobil yang saya kendarai baik di Bali maupun bemo-bemo di Manggarai terkadang memindahkan gigi dan menekan remnya kurang enak.

Saya merasa sopir ini sangat menikmati pekerjaannya. Di antara jeda percakapan kami, ia bersiul dan bernyanyi sambil menghentak-hentakkan jari telunjuknya pada stir mobil seperti sedang mengatur tempo siulan dan nyanyiannya tersebut. Setiap orang dalam konteks pekerjaan harus seperti bapak ini: menikmati dan mencintai pekerjaannya! Pekerjaan yang dinikmati dan dicintai pasti memberikan hasil yang memuaskan, begitu kata si bapak sopir. Bahwa terkadang orderan sepi dan terkadang ramai, begitulah dinamika hidup. Hidup menjadi indah karena ia berdinamika dan punya banyak warna.

Memasuki bandara I Gusti Ngurah Rai, saya seperti kepingan yang terasing di lautan. Bandara ini besar sekali; tidak macam bandara Satar Tacik Frans Sales Lega, bandara Soa dan El Tari Kupang yang pernah saya masuki.

Mori campe, weleng aku tong.”

Bagi saya, di sinilah peribahasa malu bertanya sesat di jalan berlaku dan menemukan eksistensi dirinya. Mobilitas ribuan manusia yang terlihat sibuk dan huru-hara dengan pesan-pesan yang berbahasa Inggris membuat saya ikut huru-hara sendiri. Saya tersesat di tengah kepungan tanda dan penunjuk. Tanda-tanda dan penunjuk-penunjuk ini membuat saya menyesal tidak belajar bahasa Inggris dengan baik.

Sewaktu kelas XII, Ibu Heni, guru bahasa Inggris SMA pernah bilang;”Suatu saat kamu akan menyesal tidak belajar bahasa Inggris dengan baik!”. Pada saat les tersebut, saya dan Delfino Mbilo tertawa. Kini saya menyesal; sama halnya ketika pada beberapa tes saya gagal karena bahasa Inggris yang buruk. Saya tidak tahu apakah Delfino juga menyesal atau tidak. Hidup Ibu Heni!

Setelah beberapa kali tersesat dalam barisan lalu salah gate, saya akhirnya bisa duduk dengan nyaman di bangku pesawat. Saya duduk pada kursi bagian dalam, padahal saya mau sekali duduk bagian luar, tepatnya dekat jendela biar bisa mengambil gambar dan melihat dunia dari atas awan.

Di sisi kanan saya, terdapat kursi yang dekat dengan jendela. Di sana duduk seorang pemuda berdarah Eropa. Dengan wajah memelas dan bahasa Inggris yang susah payah, saya bisa duduk dekat jendela.

“It’s the first time for me. I wanna take some picture!”(omong apa saya?)

Ia kelihatan sedih, haru, dan prihatin mendapati saya yang sudah setua ini namun baru pertama kali naik pesawat.  Pemuda tersebut merupakan bagian dari sekelompok pelajar yang melakukan perjalanan ke Labuan Bajo; entah bagian dari kegiatan belajar atau sekadar menghabiskan waktu liburan, saya tidak tahu.

Jumlah mereka kurang lebih sepuluh orang. Sejak check in mereka terlihat bersama dan bercakap-cakap. Kelompok mereka multietnis dan mutikultural; kebanyakan berkulit putih, sisanya pemuda etnis Tionghoa, Afrika, dan satunya lagi kelihatan seperti orang India.

Si pria Tionghoa duduk tepat di depan kami. Di sampingnya duduk seorang pria Eropa. Ternyata mereka sepasang kekasih. Beberapa belas menit setelah pesawat terbang, mereka berciuman. Melalui celah kursi, sesekali mata saya melihat mereka. Hahahah. . Meski risih dan agak jijik, jiwa penasaran dan kepo saya meronta-ronta. Beberapa penumpang lain terlihat biasa-biasa saja; mungkin mereka sudah terbiasa dengan pemandangan semacam ini.

Begitulah saya. Saya berasal dari pedalaman Flores yang belum terbiasa dengan pemandangan semacam ini. Kalo di Manggarai french kiss depan umum, orang lempar pake batu dan bawa ke tua adat. Kalo sesama laki-laki yang berciuman, itu perkara lain lagi. Orang satu kampung bisa kejar pake parang.

Saya menyukai orang-orang ini; bukan karena saya homo. Saya menyukai mereka karena mereka berani menjadi diri sendiri dan berani mengekspresikan dirinya. Mereka gay dan mereka berani mengakui (dengan cara menunjukkan) bahwa mereka gay. LGBT itu isu yang sensitif; dan mereka memilih menunjukkan diri mereka apa adanya.

Tidak banyak orang yang berani menjadi diri sendiri, apalagi untuk sesuatu yang sifatnya berlawanan dengan kebiasaan umum; tidak banyak orang berani mengekspresikan apa yang mereka mau, apalagi untuk sesuatu yang tidak lazim. Mereka tahu apa yang mereka mau dan memilih menjadi seperti apa yang mereka mau. Bukankah esensi hidup ialah kebahagiaan; dan salah satu definisi kebahagiaan ialah kau bahagia menjalani apa yang kau jalani?

Di Indonesia, orang masih belum berani menunjukkan jati dirinya sebagai gay atau lesbian karena takut akan stigma sosial. Banyak gay dan lesbi yang malu-malu. Banyak juga dari mereka yang terpaksa menikah dengan lawan jenis karena persoalan stigma sosial. LGBT oleh sebagian orang dianggap sebagai racun dan penyakit sosial. Itu pandangan umum yang sah-sah saja. Beberapa orang juga setuju dengan LGBT; yah itu juga sah-sah saja.

Bukan hanya dalam konteks orientasi seksual, dalam konteks lain pun demikian. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang tidak berani menjadi diri sendiri karena takut dengan apa yang akan orang lain katakan. Banyak orang yang hidup dalam dikte. Mereka menjadi seperti apa yang orang lain kehendaki, dan bukan menjadi seperti apa yang mereka sendiri kehendaki. Mereka sedang membahagiakan orang lain dan di sisi lain sedang menyiksa dirinya sendiri.

**

Dari atas awan, pemandangan terlihat indah. Saya mengabadikan beberapa gambar dan video. Barisan pulau terlihat begitu kecil macam ujung kuku kaki; hamparan laut membentang begitu indah; cahaya matahari sore menelusup malu-malu melalui celah-celah awan. Dalam seketika, saya seperti melihat surga. Karya dan ciptaan Tuhan memang luar biasa.

Sewaktu SD saya berpikir Tuhan bertahta di atas awan. Sewaktu kelas I atau II SD saya bercita-cita untuk bisa naik pesawat biar bisa melihat Tuhan dan para pelayan-Nya. Sekarang saya berada di atas awan dan melihat Tuhan dalam wujud alam-Nya yang indah. Di atas ketinggian, saya merasa diri kecil sekali. Hanya debulah aku di hamparan alam semesta.

Beberapa saat berselang, pesawat memasuki wilayah berkabut. Saya mulai merasa kurang nyaman. Saya memperhatikan sayap kanan pesawat berguncang, seperti mau terlepas. Salah satu elemen pada bentangan sayapnya terguncang mengikuti kecepatan angin; saya tidak tahu apakah karena rusak ataukah modelnya memang begitu. Baut-bautnya terlihat seperti tidak meyakinkan; terasa tidak terkancing dengan kuat. Pada titik ini, kehidupan puluhan manusia di pesawat ini ditentukan oleh satu baut kecil.

Kalo salah satu baut pada sayapnya terlepas, maka elemen sayapnya akan terganggu bahkan mungkin bisa terlepas. Tekanan udara yang berbeda pada kedua sayap bisa membuat pesawat ini tidak seimbang; dan itu bisa membuat pesawat ini jatuh. Kalo jatuh, pasti kami ‘rewut’; pecah berkeping-keping dan tak bisa dikenali lagi. Itu yang saya pikirkan.

Saya mulai gelisah dan takut. Saya memperhatikan penumpang yang lain biasa-biasa saja. Mungkin mereka memang sudah terbiasa; atau pura-pura kuat dan tegar. Di saat seperti itu, jiwa Katolik saya muncul kembali. Saya jadi ingat Tuhan lagi.

Saya menyimpan kamera mini dan tak lagi mengambil gambar. Saya memegang rosario dan mendaraskan doa. Di dalam hati saya menyanyikan pujian senja dan pujian malam yang biasa kami nyanyikan sewaktu di seminari. Manusia memang brengsek, giliran susah jadi ingat Tuhan. Heheheh. . Saya percaya sebrengksek apapun manusia, Tuhan selalu baik.

Setelah beberapa saat berdoa, saya memutar lagu dan memejamkan mata saya. Deru mesin pesawat dan daratan yang terlihat sangat jauh membuat saya gelisah. Mungkin mendengarkan musik sambil memejamkan mata bisa membuat kegelisahan saya hilang.

Beberapa saat berselang, muncul sebuah pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat. Pulau Flores dan barisan pulau-pulau kecil di sekitarnya telah terlihat dengan jelas. Saya mulai lega. Kalo harus jatuh sekarang, sepertinya tidak terlalu masalah; toh macamnya dekat-dekat saja ini ke bawah. Lagian kalo harus jatuh, orang bisa dengan mudah menemukan jasad kami dan puing-puing pesawat.

Kami mendarat dengan selamat. Saya lega bukan main. Saya bisa merasakan wangi dan kehangatan bumi Flores! Penerbangan yang menakutkan telah menguras banyak tenaga. Tiga detik setelah turun dari pesawat, saya lupa lagi dengan Tuhan dan ingat warung Padang. Tuhan hadir dalam banyak rupa; kali ini Ia menampilkan surga dan diri-Nya dalam wujud sepiring nasi. Halleluyah‼

Senyum; masih hidup. .
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...