Langsung ke konten utama

Mocca, Bleki, dan Kita

Bleki dan Mocca (foto: Excell Lagur)
Beberapa waktu lalu kami mengangkut dua ekor anjing dari rumahnya Gio dan Gisel di Iteng, lalu menamai mereka Mocca dan Bleki. Mocca (Moka) ialah anjing cokelat yang kurus kering, meski dari segi makanan, sebetulnya ia mendapat asupan gizi yang cukup. Ia suka sekali menggonggong. Liat babi makan, dia menggonggong; liat orang lewat, dia menggonggong; liat Bleki makan, dia menggonggong, liat Bleki diam, dia menggonggong; pokoknya hobi betul menggonggong. Saya menduga dia kurus karena memang terlalu sering menggonggong. Dia terlalu hobi menggonggong dan diap gonggongan terlalu banyak menguras energi.
Omong-omong soal Mocca, pemilihan nama Mocca sebetulnya melalui sejarah dan perdebatan yang cukup panjang. Excell, adik saya yang mengklaim diri sebagai pemilik utama anjing merasa ia berhak penuh atas penamaan kedua anjing ini. Saya bingung kenapa dia merasa diri paling berhak, padahal kami sama-sama pi ambil ini anak anjing. Apakah karena dia begitu mencintai anjing sementara di mata saya Mocca dan Bleki hanyalah setempat-sup RW? Tidak apa-apa, sesekali mengalah itu baik untuk kesehatan jiwa dan rawa. 
Sebagai penyuka ABC Mocca garis keras, ia memilih tuk menamai anjing ini dengan nama Mocca. Hal ini wajar, karena memang warna bulu anjing ini mirip dengan warna minuman ABC Mocca yang biasa kami beli di kiosnya Tanta Ani.
Teman Mocca diberi nama Bleki. Ia anjing bercorak hitam coklat, dengan warna cokelat yang dominan. Bagi saya nama ini kurang tepat karena saya merasa, nama Bleki secara etimologis berasal dari bentuk dasar  ‘blek’ (black yang berarti hitam).
Mama, secara etimologis, Bleki hitu berasal one mai kata bahasa Inggris black, artin neni. Toen nganceng hi Bleki ngasang’n acu ho’o ai toe hanya warna neni’y tapi motif cokelat kole’y. Malahan cewe do warna cokelat’n”
“Ha?? Tombo apa hau?
Saya bersikukuh nama Bleki ini kurang cocok. Kalau memang mau konsisten dengan medan semantis penamaannya ini dua binatang, harusnya nama Bleki juga pake nama yang dekat-dekat dengan nama minuman sachet; misalnya Toko (Top Kopi), Kai (Kapal Api), Tomo (Top-Moka) karena warnanya hitam+cokelat macam Top Kopi dan Moka, atau apalah yang mirip-mirip dengan minuman sachet biar sejarah penamaan dan medan semantis nama mereka seragam.
Menurut saya begitu. Kalau menurut orang lain bukan begitu, yah tidak masalah itu hak dan hasil pikirannya dia. Saya menyukai dan menghargai perbedaan, termasuk perbedaan cara berpikir. Setiap orang belajar dan berproses dalam dunia pendidikan supaya ia punya pikirannya sendiri, bukan menjadi makhluk kosong yang cuma bisa ikut dan angguk-angguk dengan budaya komunal.
Terjadilah proses yang disebut: saya vs ‘ata ce mbaru’. Sebagai sebuah rumah tangga berasaskan demokrasi, saya kalah suara dan akhirnya anjing ini dibaptis dengan nama Bleki. Saya memang kurang puas, tapi bagaimana pun juga harus tetap menghargai dan tunduk dengan sesuatu yang menjadi keputusan bersama. Begitulah, nama sebagai salah satu unsur dari sesuatu yang kita sebut sebagai bahasa memiliki sifat arbiter (mana suka) sekaligus bersifat konvensional (sesuai kesepakatan bersama). Dengan kata lain, diap nama bisa sebarang-sebarang saja asalkan melalui proses aklamasi. Baik sudah; demokrasi kadang semenjengkelkan itu.
Nama si Bleki ini mengingatkan saya pada peristiwa tahun lalu. Tahun lalu (Juni atau Juli 2019) saya bekerja sebagai enumerator di WVI. Kami bertugas mengukur kemampuan baca siswa-siswa SD di Manggarai Timur. Siang hari setelah melakukan pengumpulan data di SD sekitar wilayah kabupaten Poco Ranaka Timur, seorang anak yang baru pulang dari kebun memikul karung yang entah apa isinya. Ia ditemani seekor anjing putih yang bernama Bleki. Ini anjing putih mereka namai Bleki. Kontras sekali diap nama dengan diap ciri fisik. Bukankah nama adalah tanda (nomen est omen)? Setiap nama yang diberikan (penanda) menjadi tanda perihal sesuatu yang ditandai (petanda).
Tanda yang dimaksud bisa berkaitan dengan corak, sifat, asal usul, sejarah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, terlepas dari sifat arbiter bahasa, nama dengan sesuatu yang dinamai semestinya nyambung, atau penanda semestinya koheren dengan petanda.
Beginilah fenomena penamaan (manusia, binatang, wilayah, momen, maupun benda) kita. Diam-diam iustrasi di atas merepresentasikan realita penamaan dan cara hidup manusia. Nama selain sebagai sebuah tanda, sebetulnya menyelipkan doa, harapan, dan cita-cita. Saya mengadopsi nama santu pelindung Felix dari Valois yang kemudian dimodifikasi sesuai gaya penamaan orang katolik Flores menjadi Felixianus. Dilansir dari Imankatolik.or.id, Felix dari Valois lahir dari keluarga bangsawan Prancis. Ia bersama muridnya Santu Yohanes dari Malta dikenal sebagai pendiri Ordo Tri Tunggal Mahakudus yang mengabdikan diri dalam karya penebusan tawanan Kristen dari tangan kaum Muslim. Semasa hidupnya ia suka menolong orang miskin dan sakit.
Jelas saya bukan keluarga bangsawan seperti St. Felix; tetapi dalam hal semangat dan cara hidup saya belum sepenuhnya menjadi serupa dengan St. Felix dari Valois. Saya, adalah sesosok pribadi tampan dari Ruteng yang diharapkan mampu membawa api semangat dan cara hidup Santu Felix dari Valois. Saya tdk suka menolong orang miskin dan sakit, justru seringkali buat orang jadi miskin dan sakit. Saya dalam konteks ini mirip dengan si Bleki; nama jalan lain, sifat dan cara hidup jalan lain. Menyedihkan sekali saya.
Nama orang-orang Manggarai dalam banyak hal pun saya kira semenyedihkan nama saya. Oiaa, sebelumnya saya ingin menyinggung ada anggapan bahwa nama orang Manggarai bagi sebagian orang di luar Manggarai terkadang dianggap sembarang-sembarang; banyak yang tidak pake fam macam suku-suku lain. Kalo orang lahir pas lagi pesta bisa diberi nama belakang Bahagia, kalo seorang anak dari pasangan yang sudah lama menantikan kehadiran diberi nama belakang Syukur atau Rahmat. Dalam banyak hal juga penamaan orang Manggarai di mana pada bagian tengah namanya menggunakan frase bahasa Manggarai semisal Banera (‘ba” artinya membawa dan “nera” artinya membawa terang), Lembu Nai, Cembes Nai, dan lain sebagainya. 
Saya termasuk orang tidak setuju dengan anggapan ini. Saya kira ini bukan bentuk sebarang-sebarangnya orang Manggarai, tetapi bentuk spontanitas dan keterbukaan orang Manggarai. Orang Manggarai kan biasanya spontan dan terbuka dalam banyak hal to. Sebagai contoh, kalo ada orang lewat biar tidak saling kenal, mereka panggil dan ajak minum kppi. Kalo dalam konteks anak mudanya, liat gaya dan  budaya baru juga mereka terbuka dan serap-serap saja, entah itu positif atau tidak.
Kembali ke persoalan nama. Kita punya deretan nama yang sangat baik dan bagus, dengan filosofi yang luar biasa dalamnya. Kita diberi nama AA Bahagia, BB Syukur, CC Rahmat, DD Anugerah, EE Ba Nera, FF Lembu Nai, GG Cembes Nai, HH Gracia (rahmat), II Sun (matahari), JJ Cahaya, KK Star (bintang), dan lain sebagainya. Masih banyak contoh lain, ase kae bisa liat dengan mudah di sekitar kita.
Ada yang bernama AA Bahagia tapi hidup galau dan sedih terus; ada yang bernama BB Syukur tapi suka mengeluh dan tidak tahu mensyukuri hidup; ada yang bernama CC Rahmat tetapi justru menjadi bencana bagi orang-orang di sekitarnya; dan sebagainya-dan sebagainya. 
Poin yang saya mau tekankan, saya, Anda, kita; belum sepenuhnya menjalani spirit hidup sesuai dengan penamaan yang kita bawa. Saya dan kita belum sepenuhnya menjadi penanda yang baik dari penamaan (petanda) yang disematkan pada kita. Kita semenyedihkan Bleki!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...