CPNS bukanlah segala-galanya. Penghasilan sebagai PNS pada banyak konteks tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kerjaan-kerjaan lembaga swasta maupun berwiraswasta.
Sebagian orang memilih mengikuti seleksi CPNS berdasarkan pertimbangannya masing-masing. Entah itu persoalan jenjang karir, masa tua, mencoba hal baru, dan lain sebagainya.
Senang rasanya melihat beberapa orang memosting perolehan seleksi CPNSnya pada media sosial facebook maupun WA. Saya jadi teringat pada perjuangan kami beberapa tahun silam; bertarung dengan banyak orang demi pekerjaan biar bisa makan.
Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan ungkapan bahwa lulus dalam seleksi CPNS atau seleksi apa saja adalah sebuah keberuntungan. Mungkin karena momen fight yang dilalui lumayan keras, kesal juga rasanya dengar orang berkomentar dengan enteng bahwa kelulusan CPNS adalah karena keberuntungan.
Barangkali keberuntungan memainkan perannya. Kalau memang demikian, saya kira cuma nol koma sekian persen. Itu pun tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Kerja keras ialah hal paling utama dalam proses seleksi. Bayangkan pada kegiatan seleksi, ada ratusan orang memperebutkan satu posisi dan kalian dengan gampang bilang dia yang lulus karena beruntung.
Untuk bisa lulus, tentu sombong dan egois sekali rasanya kalo kita mengatakan bahwa itu cuma berkat kerja keras kita sendiri. Tentu, ada banyak hal lain yang mendukung kita untuk bisa lulus tahapan seleksi.
Berdoa dan bekerja adalah dua hal yang wajib hukumnya, termasuk dalam proses seleksi CPNS. Dua hal ini mestinya berimbang. Berdoa saja, tidak cukup. Demikian sebaliknya, bekerja saja tidak cukup.
Ada doa orang tua dan orang-orang terdekat, ada doa-doa para leluhur, dan terutama doa kita sendiri. Doa orang tua dan orang-orang terdekat mendekatkan kita pada mimpi-mimpi kita. Demikian pun halnya doa para lelulur, baik melalui doa di makam maupun melalui momen teing hang. Leluhur menjadi penghubung (letang temba) doa-doa kita kepada Sang Empunya Kehidupan.
Dalam proses seleksi, semua orang didoakan oleh orang tua maupun orang -orang terdekatnya. Mereka pun memohon doa para lelulurnya masing-masing, juga berdoa pada malam menjelang tidurnya.
Lantas ketika orang semua orang menaruh harapan pada doa, apa yang faktor kedua yang akan menjadi pembeda? Saya kira jawabannya adalah kerja!
Seperti apa bentuk kerja yang dilaksanakan? Kita harus baca, baca, dan baca. Kau kan tahu: there’s nothing can be created out of nothing. Tidak ada hal yang lahir dari kekosongan.
Kepala yang kosong tidak bisa tiba-tiba ada isi tanpa berbuat sesuatu. Jangan harapkan materi muncul tiba-tiba melalui proses wahyu Ilahi, kamer kole Mori Kraeng.
Supaya kepala ada isi, kita harus asup dengan nutrisi melalui literasi: baca, nonton youtube, mengerti baik kisi-kisi, pahami trik-trik mengerjakan ujian, dan perbanyak waktu kerja latihan soal.
Persoalan tidak selesai dengan cuma bakar lilin, teing hang, dan novena. Semua orang sudah buat itu papa raja! Kau harus fight lebih di literasi. Nenek moyang di alam baka juga bakal angkat tangan kalau kita tidak usaha lebih.
Orang selalu katakan proses literasi dan kencing adalah dua hal yang bisa diasosiasikan. Berliterasi itu sama dengan minum air; dan kencing itu sama dengan produksi pengetahuan yang keluar dari kepala.
Kalau kita tidak banyak minum air, maka otomatis kita punya kencing keruh dan kuning mati punya. Begitu juga kalau kita tidak banyak berliterasi, pengetahuan di kepala suram sekali macam lampu kuning 3 watt.
Dengan modal 3 watt kau mau fight dengan orang-orang yang sudah pake lampu sorot? Bangun mbeha, kau tidur terlalu miring!
Akhirnya pebirsah, marilah kita mendaraskan doa tobat dan menyadari: Google menyediakan banyak hal, jangan jadi makhluk yang mati di tengah kelimpahan informasi dan pengetahuan.
Sebagian orang memilih mengikuti seleksi CPNS berdasarkan pertimbangannya masing-masing. Entah itu persoalan jenjang karir, masa tua, mencoba hal baru, dan lain sebagainya.
Senang rasanya melihat beberapa orang memosting perolehan seleksi CPNSnya pada media sosial facebook maupun WA. Saya jadi teringat pada perjuangan kami beberapa tahun silam; bertarung dengan banyak orang demi pekerjaan biar bisa makan.
Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan ungkapan bahwa lulus dalam seleksi CPNS atau seleksi apa saja adalah sebuah keberuntungan. Mungkin karena momen fight yang dilalui lumayan keras, kesal juga rasanya dengar orang berkomentar dengan enteng bahwa kelulusan CPNS adalah karena keberuntungan.
Barangkali keberuntungan memainkan perannya. Kalau memang demikian, saya kira cuma nol koma sekian persen. Itu pun tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Kerja keras ialah hal paling utama dalam proses seleksi. Bayangkan pada kegiatan seleksi, ada ratusan orang memperebutkan satu posisi dan kalian dengan gampang bilang dia yang lulus karena beruntung.
Untuk bisa lulus, tentu sombong dan egois sekali rasanya kalo kita mengatakan bahwa itu cuma berkat kerja keras kita sendiri. Tentu, ada banyak hal lain yang mendukung kita untuk bisa lulus tahapan seleksi.
Berdoa dan bekerja adalah dua hal yang wajib hukumnya, termasuk dalam proses seleksi CPNS. Dua hal ini mestinya berimbang. Berdoa saja, tidak cukup. Demikian sebaliknya, bekerja saja tidak cukup.
Ada doa orang tua dan orang-orang terdekat, ada doa-doa para leluhur, dan terutama doa kita sendiri. Doa orang tua dan orang-orang terdekat mendekatkan kita pada mimpi-mimpi kita. Demikian pun halnya doa para lelulur, baik melalui doa di makam maupun melalui momen teing hang. Leluhur menjadi penghubung (letang temba) doa-doa kita kepada Sang Empunya Kehidupan.
Dalam proses seleksi, semua orang didoakan oleh orang tua maupun orang -orang terdekatnya. Mereka pun memohon doa para lelulurnya masing-masing, juga berdoa pada malam menjelang tidurnya.
Lantas ketika orang semua orang menaruh harapan pada doa, apa yang faktor kedua yang akan menjadi pembeda? Saya kira jawabannya adalah kerja!
Seperti apa bentuk kerja yang dilaksanakan? Kita harus baca, baca, dan baca. Kau kan tahu: there’s nothing can be created out of nothing. Tidak ada hal yang lahir dari kekosongan.
Kepala yang kosong tidak bisa tiba-tiba ada isi tanpa berbuat sesuatu. Jangan harapkan materi muncul tiba-tiba melalui proses wahyu Ilahi, kamer kole Mori Kraeng.
Supaya kepala ada isi, kita harus asup dengan nutrisi melalui literasi: baca, nonton youtube, mengerti baik kisi-kisi, pahami trik-trik mengerjakan ujian, dan perbanyak waktu kerja latihan soal.
Persoalan tidak selesai dengan cuma bakar lilin, teing hang, dan novena. Semua orang sudah buat itu papa raja! Kau harus fight lebih di literasi. Nenek moyang di alam baka juga bakal angkat tangan kalau kita tidak usaha lebih.
Orang selalu katakan proses literasi dan kencing adalah dua hal yang bisa diasosiasikan. Berliterasi itu sama dengan minum air; dan kencing itu sama dengan produksi pengetahuan yang keluar dari kepala.
Kalau kita tidak banyak minum air, maka otomatis kita punya kencing keruh dan kuning mati punya. Begitu juga kalau kita tidak banyak berliterasi, pengetahuan di kepala suram sekali macam lampu kuning 3 watt.
Dengan modal 3 watt kau mau fight dengan orang-orang yang sudah pake lampu sorot? Bangun mbeha, kau tidur terlalu miring!
Akhirnya pebirsah, marilah kita mendaraskan doa tobat dan menyadari: Google menyediakan banyak hal, jangan jadi makhluk yang mati di tengah kelimpahan informasi dan pengetahuan.
Komentar
Posting Komentar