Beberapa dekade terakhir, feminisme menjadi salah satu tema sentral
yang ramai di bicarakan khalayak umum. Pembicaraan ini mewarnai tiap diskusi
baik dalam tataran formal maupun informal. Topik ini lahir sebagai sebuah
reaksi ketidakpuasan kaum wanita atas fenomena dan realita yang terjadi di
tengah masyarakat. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, wanita cenderung berada
pada sebuah posisi yang banyak kali tidak diuntungkan. Wanita cendrung berada
pada posisi “nomor dua”, menjadi kaum yang termarginalkan, dan kadang
terabaikan. Produk budaya telah membentuk sebuah minsdset, seakan kaum wanita
memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada kaum lelaki. Padahal jika kita berkaca
pada landasan biblis, wanita diciptakan dari tulang rusuk pria. Para filsuf dan
teolog kemudian menafsirkannya sebagai sebuah sinyal dan harapan bahwa pria dan
wanita sama dan sederajat adanya. Tidak pihak yang lebih tinggi, tidak ada
pihak yang lebih rendah. Persamaan dan kesederajatan yang dimaksud mencakup
peran, status dan kedudukan di tengah masyarakat. Mindset budaya kemudian
mengiring terbentuknya struktur bahasa berbau diskrimiansi.
Feminisme sebagai sebuah
pengkajian sastra maupun budaya.
Bahasa adalah alat komunikasi manusia. Dengan bahasa, manusia mampu
mengkomunikasikan ide, konsep maupun gagasannya. Selain sebagai bagian hakiki
dalam pengkajian sastra, juga merupakan salah satu unsur kebudayaan. Bahkan
keberadaannya yang esensial menjadikannya sebagai salah satu unsur terpenting
kebudayaan, seperti kata pepatah: “bahasa menunjukkan bangsa”. Dengan demikian,
bahasa adalah bentuk representasi pola dan cara berpikir masyarakat. Praktik
penggunaan bahasa kerap kali menampilkan dan memperagakan tampilan (dalam rupa
kata, frasa, kalimat maupun dalam tataran semantik) yang entah secara sadar
maupun tidak oleh pengunannya telah “melemahkan’ martabat kaum wanita; telah
mendisposisikan kaum hawa. Harus diakui praktek bahasa dan berbahasa “yang
kejam” ini merupakan imbas dari produk dan mindset budaya: hadir sebagai
pengaruh efek struktur dan tatanan yang berkembang di tengah masyarakat. Bahasa
seperti yang telah diulas pada bagian sebelumnya karena pengaruh struktur dan
tatanan sosial, dalam banyak hal telah memperagakan proses “pelemahan” ini,
seperti pada beberapa uraian berikut:
Penamaan
Salah satu bias gender yang dapat dengan mudah kita temukan di tengah
masyarakat (Indonesia) ialah dalam konteks penamaan. Memang, hal ini hampir
pasti tidak disadari keberadannya, mengingat sistem patriarki yang kita anut
menjadikan sosok ayah (pria) sebagai tokoh sentral. Seorang wanita yang telah
bersuami akan cendrung mengadopsi nama suaminya pasca pernikahan. Sebagai salah
satu contoh, seorang wanita dengan nama Yohana Maria ketika menjadi istri
seorang pria bernama Yakobus Syukur akan berganti nama menjadi Ibu Yakobus atau
Ibu Yohana Syukur. Penamaan ini tidak pernah menampilkan peragaan yang
sebaliknya. Demikian juga soal penamaan anak, anak cenderung mengadopsi nama
belakang sang ayah. Amat jarang (bahkan terkesan aneh) sang anak mengikuti nama
belakang Ibu. Dari uraian ini kita bisa
melihat peran pria sebagai sentral, sementara wanita hanyalah subordinasi kaum
hawa.
Ungkapan dan Istilah
Penggunaan beberapa kosakata dan ungkapan menunjukkan perempuan
selalu menjadi korban dan disalahkan, sedang laki-laki tidak dipersoalkan
kesalahannya (Rampung, 2015). Ungkapan semacam WTS, PSK, wanita kupu-kupu
malam, penjaga seks, atau yang dalam konteks anak muda kota Ruteng dikenal
dengan sebutan “timi alat” atau “timi cabo” adalah sedikit dari sekian
banyak contoh ungkapan yang menyudutkan kaum wanita. Anehnya, ungkapan-ungkapan
semacam ini tidak membenarkan hadirnya ungkapan yang sama untuk kaum pria; semacam
Lelaki Tuna Susila maupun Lelaki
kupu-kupu malam. Padahal dalam realitanya, ungkapan dan istilah ini hadir
dengan melibatkan pria maupun wanita sebagai agen pelakunya.
Konteks politik dan status
sosial
Dalam dunia politik, kita mengenal adanya Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dan tidak pernah mendengar lembaga pemerintahan
yang bertajuk Kementrian Pemberdayaan
Laki-Laki. Secara tidak sadar melalui lembaga atau badan semacam ini, kita
telah meragukan kapasitas dan kredibilitas kaum wanita. Wanita melalui
kementrian semacam ini telah dianggap lemah dan tak berdaya, bahkan terkesan
tidak bisa apa-apa.
Selain itu, jabatan status sosial semacam polisi-polwan, wartawan-wartawati,
biarawan-biarawati, binaragawan-binaragawati, dan sebagainya adalah sebuah
pelabelan yang secara sengaja memisahkan wanita dari kesederajatannya dengan
kaum laki-laki. Ini adalah sebuah produk budaya (dalam berbahasa) yang
memberikan sekat dan tembok pemisah antara pria “yang menganggap diri lebih”
dengan kaum wanita “yang dicap tak bisa apa-apa”. Toh kalau memang kita mau
mengakui bahwa pria dan wanita sederajat dan adanya, mengapa penamaan polisi
laki-laki dan polisi perempuan maupun wartawan laki-laki dan wartawan perempuan
harus berbeda?
Beberapa uraian singkat di atas telah memberikan gambaran tentang
pendisposisian kaum wanita dalam konteks bahasa dan berbahasa. Tentunya masih
ada begitu banyak persoalan berbahasa yang entah secara sadar maupun tidak
telah memperagakan ‘bentuk ketidakadilan’ terhadap kaum wanita. Permasalahan
bahasa semacam ini terlahir sebagai efek domino struktur dan tatanan sosial
yang terlanjur mengatur mind set dan persepsi masyarakat akan hakikat dan
eksistensi kaum wanita yang (terlanjur) dipandang tak berdaya. Struktur dan
tatanan sosial ini kemudian secara sadar maupun tidak, telah melahirkan
bentuk-bentuk diskriminasi versi bahasa.
Hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk mendukung gerakan
feminisme ialah melalui penggunaan bahasa yang baik, yang tidak
mendiskriminasikan kaum wanita. Penamaan, ungkapan dan istilah, maupun praktik
berbahasa dalam konteks politik yang sosial
yang secara sadar maupun tidak telah melemahkan harkat dan martabat kaum
wanita, harus kita hapus. Niscaya hal sederhana ini secara tidak langsung akan
berimbas pada aspek kehidupan yang lainnya. Selain itu hal terpenting ialah
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi kaum wanita untuk berperan dalam
berbagai ruang publik, sehingga pada akhirnya kaum wanita akan diakui dan
secara perlahan pendiskriminasian bahasa semacam ini perlahan-lahan akan
menghilang. Sebagai kaum intelektual dan generasi perubahan, kita tidak harus
mewarisi praktik dan kebiasaan yang salah semacam itu. Dan yang terpenting: Ingatlah,
wanita tidak butuh pemberdayaan dan dikasihani. Mereka butuh kesempatan yang
sama!
Komentar
Posting Komentar