Semilir angin pagi membelai lembut; membelah dedaunan, menembus di sela-sela ventilasi. Bersama suara kelepak burung, angin pagi itu menelusup di sekujur tubuh Gio yang nampaknya masih enggan beranjak dari kehangatan mimpi-mimpi malam. Ia kian erat menarik selimut dan berguling seumpama kepompong yang asyik dengan dunianya sendiri. Lagi-lagi seperti biasa, suara ketukan ibu pada daun pintunya mencoba membangunkannya. Ketukan itu sebetulnya tak lebih dari alarm alami yang menghiasi tiap pagi harinya. Makin lama suara itu makin keras dan makin menggangu.
“Gio, bangun Gio!! Sudah telat ni‼” suara Ibu berulang
kali menyadarkannya.
“Ia Mah. .
Tolong berhenti berisik”
sambungnya dengan sedikit membentak.
Dengan sedikit kesal iapun bangun dan langsung menuju
jendela. Dibukanya jendela dan dihirupnya kesejukan hawa pagi dengan sepenuh
hati. Oksigen yang masuk ke sela-sela paru-paru dan otaknya pelan-pelan
mengembalikan semangatnya yang terlanjur berbaur mimpi-mimpi semalam.
Dari kejauhan ia melihat seorang pria tua dengan
gerobak kesayangannya. Entahalah, ini untuk bulan yang ke ratus berapa pria tua
itu melintasi jalanan ini. Yang pasti, semenjak Gio dapat mengenal dan melihat
dunia, semenjak ia mulai memahami kombinasi spektrum warna, ia telah melihat
pria tua itu melintas jalanan di depan rumahnya. Yah, selalu pada waktu-waktu
yang sama.
Orang-orang di kotanya mengenalnya dengan nama Pak
Johan. Ia tinggal seorang diri di pinggir kota, di sebuah gubuk tua yang kian
reot termakan usia. Untuk menghidupi dirinya, ia berjualan mainan anak-anak
semacam gasing, boneka kayu, sepeda kayu, dan lain sebagainya di alun-alun kota.
Mainan yang sebetulnya sudah kurang ngetrend
di kalangan anak zaman sekarang. Tapi sudahlah, apa yang bisa diperbuat Pak
Johan? Lagian setidaknya hasil jualannya masih cukup tuk mengisi perut
rentanya.
Kerutan wajah dan langkahnya yang amat berat seakan
menggambarkan garis hidupnya yang syarat akan tawar dan getir lika-liku
kehidupan. Bising dan debu kota adalah sahabat yang setia menemani
hari-harinya. Kadang dalam hatinya, Gio bertanya:
”Di mana sanak saudaranya?”
“Apa ia tak memiliki istri dan anak?”
Dan sampai detik ini, pertanyaan yang sama terus
terngiang dalam benak Gio. Sayangnya, sang Ibu tak punya sedikit jawaban yang
lebih yang mampu menjawabi kegelisahan hatinya. Pria tua itu berpaling sejenak.
Gio melangkahkan kakinya ke teras rumah.
Di saat yang sama, pria tua itu berpaling.
Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum.
“Belum siap-siap ke sekolah dik? Ini sudah jam
setengah tujuh loh. . “ sapa pria tua itu
“Ehh,, ii. . iya Pak, ini sebentar lagi mau mandi.
. hehe. .” jawab Gio
“Belajarlah dengan giat dik! Kamu mau tiap pagi dorong
gerobak kaya Bapa?” tanya pria tua itu dengan senyum sayunya.
“Kata-kata itu lagi-lagi diucapkan Pak Johan. Mungkin
ini yang ke seratus kalinya.” Pikir Gio dalam hatinya.
“Ahh,, bapa
ada-ada saja sih. .” jawab Gio malu-malu.
Pria tua itu hanya tertawa sembari melambaikan tangan
dan melanjutkan perjalannya. Gio hanya bisa menatapi langkah pria tua itu.
Perlahan-lahan menjauh dan akhirnya ia menghilang di ujung tikungan.
“Sudah disuruh mandi, bengong lagi!Kau tidak tahu
sudah jam berapa ini?” tiba-tiba suara Ibu mengagetkannya.
“Ia Mah,, sebentar lagi mau mandi. Dasar tanta-tanta cerewet!hehehe.
.” jawab Gio sambil berlari.
. . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
. . . . .
Setelah sekian lama bergelut dan berkutat dengan
suasana “makan hati”, Gio begitu lega ketika akhirnya pada pukul 17.30 bel
panjang dibunyikan. Seluruh siswa bersorak, tanda berakhirnya masa penjajahan
versi kontempoter. Pak Bone, si Guru Matematika yang dijuluki Panglima Jepang
meninggalkan ruang kelas. Para siswa berhamburan ke luar kelas, seperti benar-benar
ingin menghirup kesegaran udara kemerdekaannya, setelah sekian lama terpasung
dalam kekangan dan tekanan.
Sore ini Gio pulang sendiri. Ia berjalan santai
menyusuri ruas jalanan kota sambil menikmati suguhan pesona sore kota kecilnya
itu. Karlo yang biasa pulang bersamanya akhir-akhir ini tidak mengikuti les
sambung karena bolos. Sepanjang perjalanan Gio melamum. Pikirannya melayang
jauh.
“Sudah pulang nak?” sapa Pak Johan mengagetkan Gio
dari lamunannya.
Gio tersentak. Tak terasa, ternyata ia telah sampai di
depan alun-alun kota.
“Ehh Pak Johan. Iya Pak, ini baru pulang. Bapa belum
pulang?” tanya Gio
“Sebentar lagi nak, Bapa lagi berkemas!” jawab Pak
Johan sambil menyusun barang dagangannya.
“Sini
Pak, saya bantu” kata Gio sambil memindahkan gasing-gasing kayu ke kotaknya.
“Benar-benar
anak yang mulia yah…” celoteh Pak Johan
Setelah menyusun semua barang dagangannya, merekapun pulang.
Gio turut mendorong gerobak itu. Dalam hatinya, Gio tersadar, ternyata gerobak
ini lebih berat dari yang terlihat. Tentu kasihan Pak Johan yang tua renta ini.
“Gimana pelajarannya hari ini dik?” tanya Pak Johan
“Biasalah Pak, lagi-lagi tidak lebih dari ceramah
ustad-ustad dan iman-imam di gereja” jawab Gio diiringi gelak tawa di antara ke
duanya.
Sepanjang perjalanan mereka berbincang tentang banyak
hal; mereka saling bercerita dan berbagi pengalaman satu sama lain. Dari
semuanya, Gio paling menyukai kisah semasa Pak Johan aktif sebagai aktifis.
Sayangnya, perkuliahan Pak Johan tak sempat dilanjutkan karena terhalang biaya.
Pak Johan banyak memberikan nasihat kepada Gio, terutama agar Gio belajra
dengan giat dan jangan terlibat dengan berbagai bentuk penyimpangan dan
kenakalan remaja. Entah kenapa Gio begitu menyukai sesi percakapan itu.
Sebetulnya masih ada begitu banyak hal yang ingin Gio
tanyakan, sayangnya tanpa terasa mereka telah sampai di depan rumah Gio.
“Makasih banyak yah, dik. Belajarlah dengan giat dik!
Kamu ngga mau kan dorong gerobak kaya Bapa?” kata Pak Johan diiringi tawanya.
“Hehehe. . Oklah Pak. Hati-hati yah Pak!” sambung Gio.
Dengan langkah tergontai, pria tua itu kembali
melanjutkan perjalanannya. Kakinya yang kurus mengukir telapak tuanya ditemani
temaram cahaya senja. Sepertinya, jalannya ini telah begitu mengenali bau
keringat dan kasarnya kulit kaki si bangka ini. Gio memandangi langkahnya yang
perlahan tapi pasti sampai pada akhirnya ia tenggelam dan menghilang di tengah
kelabu senja, begitupun sunset.
Gio
tersenyum,“Entah apa yang membuat aku menyukainya. Semangatnya? Ataukah. . .”
Komentar
Posting Komentar