Tambak Iteng |
Journalisme Media Sosial
Akhir-akhir
ini , tentu kita dapat dengan mudah menemukan beberapa foto unggahan maupun
penggalan status para jurnalis media sosial yang memberitakan pelbagai
peristiwa dan kejadian yang ada di sekitar kita. Fenomena ini adalah sebuah
cerminan yang menegaskan terjadinya pergeseran fungsi media sosial. Media
sosial kini tidak hanya sebagai sebuah tempat memajang status, tetapi juga menjadi sarana pending dalam aspek
politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Salah
satu imbas pergeseran fungsi media sosial bagi kita ialah memungkinkan kita
untuk bisa mendapatkan ribuan informasi tentang peristiwa dan kejadian unik
dari pelbagai belahan dunia hanya beberapa menit setelah kejadian tersebut
berlangsung. Ketika terjadi pergeseran fungsi, di mana di dalamnya terdapat proses
pengumpulan data, pengolahan data dan penyebarluasan data dan informasi kepada
khalayak umum oleh para penggunanya, maka di sinilah terjadi kegiatan
jurnalistik oleh pengguna media sosial (citizen journalism).
Ada
begitu banyak peristiwa dan kejadian yang beredar di tengah masyarakat yang
penyebarannya berlangsung secepat kilat melalui dunia maya, bahkan melampaui
kecepatan media-media massa. Semua hal tersebut terlahir berkat kehadiran media
sosial dan kreatifitas para penggunanya. Sebagai salah satu contoh yang paling
dekat dengan konteks kehidupan penulis, ketika terjadi kebakaran rumah di
wilayah Mena, kelurahan Wali Kecamatan Langke Rembong beberapa waktu yang lalu,
para pengguna media sosial dengan gesit mengunggah foto dari sekitar lokasi
kejadian. Foto-foto tersebut juga lengkap dengan keterangan korban, maupun
perkiraan jam kejadian. Penulis selaku pengguna media sosial tentu sangat
terbantu dengan informasi dari para jurnalis media sosial ini.
Atau yang
paling baru dalam lingkup wilayah Manggarai ialah kecelakaan maut di Labuan
Bajo yang menewaskan 5 orang. Peristiwa ini sama persis dengan peristiwa
kebakaran, lagi-lagi kehadiran media sosial dan kreatifitas tiada batas para
penggunanya, berita kecelakaan pun menyebar secepat kilat. Dalam hitungan menit
informasi tersebut menyebar luas dan mengundang simpati masyarakat umum.
Sayangnya,
dalam situasi seperti inilah blunder yang mengkhianati etika dalam dunia
jurnalistik seringkali terjadi. Para pengunggah dengan santai menyebarluaskan
foto tanpa memperhatikan salah satu poin penting dalam etika kejurnalistikan. Sebagai
contoh, foto kebarakan diunggah oleh salah satu akun tanpa proses edit. Foto
diambil secara langsung lalu diupload secara langsung pula tanpa memberikan
efek samar pada foto tersebut. Demikian halnya pada kasus kecelakaan yang
terjadi di Labuan Bajo. Beberapa foto tersebar luas di dunia maya. Pada
foto-foto tersebut kita dapat menyaksikan kondisi tragis yang dialami para
korban. Dalam hasil jepretan jurnalis media sosial tersebut, kita bisa dengan
dengan jelas melihat wajah-wajah para korban, darah dan otak yang berceceran di
jalan, maupun kondisi tragis lainnya yang menimpa para korban. Penulis yakin
tentu para pembaca juga melihat ada begitu banyak foto kasus kecelakaan lainnya
maupun foto korban tindak kekerasan, foto korban tindakan kriminal yang beredar
dengan santai di dunia maya. Semua tersebar dengan mengkhianati kemurnian etika
berjurnalistik.
Tulisan
ini hanyalah sebuah bahan refleksi penulis terhadap fenomena upload foto para
korban. Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan para jurnalis media sosial
tersebut. Apalagi penulis memahami dalam banyak situasi, sebenarnya realita ini
disebabkan karena kepolosan dan ketidaktahuan para pengunggah tentang aturan
main dalam menyebarluaskan foto para korban. Kiranya tulisan sederhana ini bisa
menjadi sedikit bahan permenungan bagi para pembaca agar lebih bijak dalam menyebarluaskan
foto korban.
Dari
realita ini, penulis mengasumsikan tiga hal utama. Pertama, harus diakui bahwa kegiatan menyebarluaskan informasi
semacam ini adalah sebuah tindakan positif. Dalam arti, melalui kegiatan
semacam ini orang telah dengan sadar mulai mengapresiasi kegiatan jurnalistik.
Telah ada kesadaran dalam diri tiap orang akan pentingnya berbagai informasi
untuk para sahabatnya pada belahan dunia yang lain. Kedua, fenomena upload
ini merupakan bentuk, ekpresi dan wujud simpati para uploader terhadap peristiwa naas yang terjadi. Hal ini makin
diperkuat dengan kutipan singkat yang menyertai foto-foto tersebut, seperti:
“God bless You!”, “Semoga beristirahat dengan tenang. .”, “Bantu doanya kawan-kawan.
. “ dan lain sebagainya. Ketiga,
fenomena ini merupakan sebuah cerminan tentang ketidaktahuan kaum awam pada
etika dan tata cara menyebarluaskan informasi dan foto yang berkaitan dengan
korban. Dalam situasi semacam ini para pengunggah tidak dapat dipersalahkan
sepenuhnya.
Kode Etik Jurnalistik
Kode etik jurnalistik adalah
himpunan etika dalam dunia kewartawanan. Kode Etik Jurnalistik merupakan
sejumlah pegangan, pedoman dan petunjuk guna menjamin setiap kegiatan
pemberitaan dan peliputan yang dilakukan oleh seorang wartawan (maupun wartawan
dadakan) tidak melanggar nilai-nilai, norma serta etika dan rasa kemanusiaan.
Dalam UU
Pers No. 40 tahun 1999 pasal 5 ayat 1 berbunyi: “Pers nasional berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Selanjutnya pada pasal
6b dijelaskan peranan pers sebagai berikut: “Menegakkan nilai-nilai dasar
demokrasi, mendorong terwududnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta
menghormati kebhinekaan”. Pasal 7 ayat 2 ditegaskan: “Wartawan memiliki dan
menaati kode etik jurnalistik”.
Dari
penggalan ini, kita bisa mengambil beberapa gagasan utama, yakni: kegiatan
jurnalistik, seperti apapun wujudnya harus tunduk pada etika dan kode etik
jurnalistik. Beberapa poin utama yang termuat dalam kode etik jurnalistik ialah
keharusan untuk menghormati norma-norma dan rasa kesusilaan masyarakat,
keharusan untuk menghargai Hak Asasi Manusia dan keharusan untuk menghormati
kebhinekaan.
Jadi,
kita selaku pengguna media sosial yang (sekali-sekali) menempatkan diri sebagai
seorang jurnalis mesti memperhatikan rasa dan nilai kemanusiaan dalam setiap
“kegiatan jurnalistik” yang kita lakukan. Menampilkan foto-foto korban yang
sadis dan mengerikan adalah sebuah tindakan yang tidak bermoral; benar-benar
sebuah tindakan yang tidak menghargai korban. Perilaku tersebut merupakan
bentuk perilaku yang tidak menampilkan sisi kemanusiaan. Cobalah kita sebagai
pihak pengunggah menempatkan diri sebagai korban ataupun keluarga korban. Tentu
kita akan merasa sedih dengan situasi hal semacam ini. Ketika foto tragis
orang-orang terdekat kita beredar dengan bebas di dunia maya tanpa penyensoran,
bukankah itu sebuah posisi yang sangat buruk? Tidakkah itu di sisi lain dapat
meninggalkan trauma? Selain itu, ketika foto-foto tersebut secara tak sengaja
dilihat oleh orang-orang yang memiliki fobia dengan darah ataupun trauma dengan
kecelakaan, bukankah ini bisa menjadi sesuatu yang mengganggu bagi para
pengguna yang lain? Saya selaku penulis secara pribadi juga punya masalah yang
sama terhadap hal ini. Jika melihat foto-foto korban kecelakaan ataupun darah
yang berceceran, secara langsung saya akan merasa pusing dan tatapan saya akan
menjadi gelap. Dalam situasi seperti ini, saya jadi tidak bisa melihat ataupun
mendengar hal-hal yang ada di sekitar saya. Tentu hal-hal seperti ini, trauma
ataupun fobia semacam ini juga dirasakan oleh orang lain. (Perlu ditegaskan
bahwa tulisan ini dibuat bukan karena alasan trauma ataupun fobia pribadi
penulis, tulisan ini murni karena kepedulian penulis terhadap fenomena dan
realita yang terjadi).
Dengan
melihat sedikit uraian singkat di atas, besar harapan penulis agar tiap-tiap
kita makin bijak menempatkan diri dan melakukan kegiatan berbagi informasi
terhadap sesama, terlebih khusus dalam kaitannya dalam kegiatan menyebarkan
foto para korban kecelakaan. Semestinya dalam penyebarannya, foto-foto tersebut
diedit sedemikian rupa agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan asas
kemanusiaan. Sebaiknya foto para korban yang disebarkan ke kahalayak umum ialah
foto yang telah di-blur (dibuat
samar). Sekiranya tulisan sederhana
ini bisa menggugah kita semua untuk lebih bijak saat mengunggah foto dalam
berjurnalistik melalui media sosial. Tentu maksud dan tujuan kita akan semakin
baik manakala kita menempuh cara dan jalan yang baik pula. Mari kita canangkan
budaya berjurnalistik yang lebih beretika.
Komentar
Posting Komentar