Langsung ke konten utama

STOP UPLOAD FOTO SECARA TAK BERETIKA!

Tambak Iteng

Journalisme Media Sosial
Akhir-akhir ini , tentu kita dapat dengan mudah menemukan beberapa foto unggahan maupun penggalan status para jurnalis media sosial yang memberitakan pelbagai peristiwa dan kejadian yang ada di sekitar kita. Fenomena ini adalah sebuah cerminan yang menegaskan terjadinya pergeseran fungsi media sosial. Media sosial kini tidak hanya sebagai sebuah tempat memajang status, tetapi  juga menjadi sarana pending dalam aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Salah satu imbas pergeseran fungsi media sosial bagi kita ialah memungkinkan kita untuk bisa mendapatkan ribuan informasi tentang peristiwa dan kejadian unik dari pelbagai belahan dunia hanya beberapa menit setelah kejadian tersebut berlangsung. Ketika terjadi pergeseran fungsi, di mana di dalamnya terdapat proses pengumpulan data, pengolahan data dan penyebarluasan data dan informasi kepada khalayak umum oleh para penggunanya, maka di sinilah terjadi kegiatan jurnalistik oleh pengguna media sosial (citizen journalism).
Ada begitu banyak peristiwa dan kejadian yang beredar di tengah masyarakat yang penyebarannya berlangsung secepat kilat melalui dunia maya, bahkan melampaui kecepatan media-media massa. Semua hal tersebut terlahir berkat kehadiran media sosial dan kreatifitas para penggunanya. Sebagai salah satu contoh yang paling dekat dengan konteks kehidupan penulis, ketika terjadi kebakaran rumah di wilayah Mena, kelurahan Wali Kecamatan Langke Rembong beberapa waktu yang lalu, para pengguna media sosial dengan gesit mengunggah foto dari sekitar lokasi kejadian. Foto-foto tersebut juga lengkap dengan keterangan korban, maupun perkiraan jam kejadian. Penulis selaku pengguna media sosial tentu sangat terbantu dengan informasi dari para jurnalis media sosial ini.
Atau yang paling baru dalam lingkup wilayah Manggarai ialah kecelakaan maut di Labuan Bajo yang menewaskan 5 orang. Peristiwa ini sama persis dengan peristiwa kebakaran, lagi-lagi kehadiran media sosial dan kreatifitas tiada batas para penggunanya, berita kecelakaan pun menyebar secepat kilat. Dalam hitungan menit informasi tersebut menyebar luas dan mengundang simpati masyarakat umum.
Sayangnya, dalam situasi seperti inilah blunder yang mengkhianati etika dalam dunia jurnalistik seringkali terjadi. Para pengunggah dengan santai menyebarluaskan foto tanpa memperhatikan salah satu poin penting dalam etika kejurnalistikan. Sebagai contoh, foto kebarakan diunggah oleh salah satu akun tanpa proses edit. Foto diambil secara langsung lalu diupload secara langsung pula tanpa memberikan efek samar pada foto tersebut. Demikian halnya pada kasus kecelakaan yang terjadi di Labuan Bajo. Beberapa foto tersebar luas di dunia maya. Pada foto-foto tersebut kita dapat menyaksikan kondisi tragis yang dialami para korban. Dalam hasil jepretan jurnalis media sosial tersebut, kita bisa dengan dengan jelas melihat wajah-wajah para korban, darah dan otak yang berceceran di jalan, maupun kondisi tragis lainnya yang menimpa para korban. Penulis yakin tentu para pembaca juga melihat ada begitu banyak foto kasus kecelakaan lainnya maupun foto korban tindak kekerasan, foto korban tindakan kriminal yang beredar dengan santai di dunia maya. Semua tersebar dengan mengkhianati kemurnian etika berjurnalistik.
Tulisan ini hanyalah sebuah bahan refleksi penulis terhadap fenomena upload foto para korban. Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan para jurnalis media sosial tersebut. Apalagi penulis memahami dalam banyak situasi, sebenarnya realita ini disebabkan karena kepolosan dan ketidaktahuan para pengunggah tentang aturan main dalam menyebarluaskan foto para korban. Kiranya tulisan sederhana ini bisa menjadi sedikit bahan permenungan bagi para pembaca agar lebih bijak dalam menyebarluaskan foto korban.
Dari realita ini, penulis mengasumsikan tiga hal utama. Pertama, harus diakui bahwa kegiatan menyebarluaskan informasi semacam ini adalah sebuah tindakan positif. Dalam arti, melalui kegiatan semacam ini orang telah dengan sadar mulai mengapresiasi kegiatan jurnalistik. Telah ada kesadaran dalam diri tiap orang akan pentingnya berbagai informasi untuk para sahabatnya pada belahan dunia yang lain. Kedua, fenomena upload ini merupakan bentuk, ekpresi dan wujud simpati para uploader terhadap peristiwa naas yang terjadi. Hal ini makin diperkuat dengan kutipan singkat yang menyertai foto-foto tersebut, seperti: “God bless You!”, “Semoga beristirahat dengan tenang. .”, “Bantu doanya kawan-kawan. . “ dan lain sebagainya. Ketiga, fenomena ini merupakan sebuah cerminan tentang ketidaktahuan kaum awam pada etika dan tata cara menyebarluaskan informasi dan foto yang berkaitan dengan korban. Dalam situasi semacam ini para pengunggah tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya.
Kode Etik Jurnalistik
Kode etik jurnalistik adalah himpunan etika dalam dunia kewartawanan. Kode Etik Jurnalistik merupakan sejumlah pegangan, pedoman dan petunjuk guna menjamin setiap kegiatan pemberitaan dan peliputan yang dilakukan oleh seorang wartawan (maupun wartawan dadakan) tidak melanggar nilai-nilai, norma serta etika dan rasa kemanusiaan.
Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 pasal 5 ayat 1 berbunyi: “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Selanjutnya pada pasal 6b dijelaskan peranan pers sebagai berikut: “Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwududnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan”. Pasal 7 ayat 2 ditegaskan: “Wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik”.
Dari penggalan ini, kita bisa mengambil beberapa gagasan utama, yakni: kegiatan jurnalistik, seperti apapun wujudnya harus tunduk pada etika dan kode etik jurnalistik. Beberapa poin utama yang termuat dalam kode etik jurnalistik ialah keharusan untuk menghormati norma-norma dan rasa kesusilaan masyarakat, keharusan untuk menghargai Hak Asasi Manusia dan keharusan untuk menghormati kebhinekaan.
Jadi, kita selaku pengguna media sosial yang (sekali-sekali) menempatkan diri sebagai seorang jurnalis mesti memperhatikan rasa dan nilai kemanusiaan dalam setiap “kegiatan jurnalistik” yang kita lakukan. Menampilkan foto-foto korban yang sadis dan mengerikan adalah sebuah tindakan yang tidak bermoral; benar-benar sebuah tindakan yang tidak menghargai korban. Perilaku tersebut merupakan bentuk perilaku yang tidak menampilkan sisi kemanusiaan. Cobalah kita sebagai pihak pengunggah menempatkan diri sebagai korban ataupun keluarga korban. Tentu kita akan merasa sedih dengan situasi hal semacam ini. Ketika foto tragis orang-orang terdekat kita beredar dengan bebas di dunia maya tanpa penyensoran, bukankah itu sebuah posisi yang sangat buruk? Tidakkah itu di sisi lain dapat meninggalkan trauma? Selain itu, ketika foto-foto tersebut secara tak sengaja dilihat oleh orang-orang yang memiliki fobia dengan darah ataupun trauma dengan kecelakaan, bukankah ini bisa menjadi sesuatu yang mengganggu bagi para pengguna yang lain? Saya selaku penulis secara pribadi juga punya masalah yang sama terhadap hal ini. Jika melihat foto-foto korban kecelakaan ataupun darah yang berceceran, secara langsung saya akan merasa pusing dan tatapan saya akan menjadi gelap. Dalam situasi seperti ini, saya jadi tidak bisa melihat ataupun mendengar hal-hal yang ada di sekitar saya. Tentu hal-hal seperti ini, trauma ataupun fobia semacam ini juga dirasakan oleh orang lain. (Perlu ditegaskan bahwa tulisan ini dibuat bukan karena alasan trauma ataupun fobia pribadi penulis, tulisan ini murni karena kepedulian penulis terhadap fenomena dan realita yang terjadi).
Dengan melihat sedikit uraian singkat di atas, besar harapan penulis agar tiap-tiap kita makin bijak menempatkan diri dan melakukan kegiatan berbagi informasi terhadap sesama, terlebih khusus dalam kaitannya dalam kegiatan menyebarkan foto para korban kecelakaan. Semestinya dalam penyebarannya, foto-foto tersebut diedit sedemikian rupa agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan asas kemanusiaan. Sebaiknya foto para korban yang disebarkan ke kahalayak umum ialah foto yang telah di-blur (dibuat samar). Sekiranya tulisan sederhana ini bisa menggugah kita semua untuk lebih bijak saat mengunggah foto dalam berjurnalistik melalui media sosial. Tentu maksud dan tujuan kita akan semakin baik manakala kita menempuh cara dan jalan yang baik pula. Mari kita canangkan budaya berjurnalistik yang lebih beretika.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini: “Pramuka, pramuka raja rimba. . Marinir, marinir raja laut. . Kopauss, kopasus raja di udara. . PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya. Yang membuat saya merasa tertarik ialah   penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .” ...