Langsung ke konten utama

PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA??



Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pengalaman sederhana. Ceritanya berawal ketika di suatu siang saya mengendarakan sepeda motor ke kampus, seorang anak di kompleks saya bernyanyi dengan semangat dan penuh penghayatan. Saya pun tak sengaja menangkap sedikit penggalan lirik yang dinyanyikannya, kurang lebih seperti ini:
“Pramuka, pramuka raja rimba. .
Marinir, marinir raja laut. .
Kopauss, kopasus raja di udara. .
PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .”

Tentu mayoritas orang sangat mengenal lagu ini; dan bisa dibilang lagu ini merupakan salah satu lagu anak yang hampir-hampir tak lekang oleh zaman. Kita yang sewaktu kecil mengikuti kegiatan pramuka tentu akrab dengan lagu ini, kita pasti dapat menyanyikan tiap baris dan bait liriknya dengan baik; kalaupun tidak terlibat dalam kegiatan pramuka, saya yakin paling tidak kita pernah mendengarnya.
Yang membuat saya merasa tertarik ialah  penggalan lirik pada bagian terakhir yang berbunyi “PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .”
Sepintas sebagai masyarakt awam, kebanyakan orang akan berpikir tak ada yang salah dengan penggalan lirik ini. Di telinga kaum awam, semua akan terasa wajar dan biasa bahkan terkesan terlalu sederhana untuk diperdebatkan. Saya pun secara pribadi (sewaktu masih kecil) sering menyanyikan lagu ini dengan penggalan lirik persis sama. Tujuannya cuma satu; benar-benar untuk menghibur diri tanpa memperhatikan unsur makna dan unsur nilai rasa. Si bocah penyanyi tentunya tak pernah peduli dengan isi dan makna di balik penggalan lirik sederhana ini. Yang ia tahu, ia menyanyikannya benar-benar untuk menghibur diri tanpa peduli dengan orang lain yang ada di sekitarnya; apalagi pada pihak-pihak yang tersebut pada penggalan lirik lagu. Karena lirik ini, si bocah, saya ataupun orang-orang yang pernah menyanyikannyapun tidak dapat dipersalahkan, toh dia (kami) hanya menyanyikannya berdasarkan penggalan lirik yang dikenal oleh khalayak umum; berdasarkan lirik yang akrab di telinga masyarakat dan itu dianggap lumrah.
Kembali pada penggalan lirik ini. Entahlah lagu ini ditulis oleh siapa dan pada tahun berapa. Sejauh pengkajian yang saya lakukan, saya masih belum dapat menemukan jawabannya. Selain itu sayapun tak tahu, apa memang lirik asli pada saat awal penciptaannya memang tercipta seperti ini ataukah sengaja diplesetkan oleh satu dua oknum karena suatu kepentingan? Saya pun tak tahu. Saya cuma ingat, sewaktu kecil: amat tabu jika menyanyikan penggalan bernada rasis ini di depan batang hidung Polisi. Saya ingat persis, kala itu kami harus menyanyikannya dalam versi “PAK POLISI RAJA JALAN RAYA”, dan sepertinya itu berarti: kalau menyanyikannya secara sembunyi-sembunyi boleh.
Lalu apa sebetulnya yang membuat saya makin tertarik untuk menelaah penggalan lirik (plesetan) ini?
Menurut hemat saya, ini bukan hanya persoalan hibur dan menghibur diri. Lebih jauh dari itu, sadar atau tidak ada status dan jabatan kehormatan yang terinjak-injak oleh sebuah bentuk hiburan bagi anak-anak. Saya melihat gaya metafora yang dikenakan pada identitas Pramuka, Marinir dan Kopasus adalah sebuah penyematan majas yang seimbang dan tepat; jadi rasanya tidak adil jika kita menyelipkan ataupun menyusupkan ungkapan yang berbeda pada kalangan Polisi. Sebagai pembelajar sastra, saya jadi makin tertarik untuk mencoba menebak, menduga-duga ataupun menafsirkannya dari perspektif  sastra.
PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA. .
Pada ulasan kali ini, saya lebih tertarik untuk menelaah secara sederhana penggalan lirik ini dari aspek ekspresif dan mimetik yang diusung Abrams. Dalam pengertian sempit, pendekatan ekspresif merupakan suatu pendekatan karya sastra yang memandang karya sastra sebagai ungkapan perasaan pengarang. Pendekatan mimesis lebih memandang karya sastra sebagai cerminan atau representasi kehidupan nyata (Bdk. 4 Teori Pendekatan Abrams).
Jika memang lirik aslinya seperti itu, kalau boleh saya menebaknya dari kacamata ekspresif, saya menduga mungkin memang si penulis lirik punya kisah, cerita, hal ataupun pengalaman yang tidak mengenakan dengan salah satu oknum polisi sehingga ia menuangkannya dalam sebuah lirik berbau arogan semacam ini. Lagi-lagi kita cuma bisa menduga: mungkin aparat pada zaman lagu ini dibuat sebegitu biadabnya hingga penulis lagu mencurhatkan kisahnya dalam bentuk lirik dan sengaja menamainya dalam wujud: SETAN. (Nb: ada ungkapan bahasa latin yang berbunyi “nomen est omen” yang artinya: nama adalah tanda).
Kalaupun penggalan lirik ini adalah buah plesetan oknum-oknum tertentu, lagi-lagi kita hanya bisa menduga: mungkin oknum tersebut punya kisah, cerita, hal ataupun pengalaman yang tidak mengenakan dengan salah seorang (mungkin juga lebih) aparat kepolisian hingga ia harus menuangkan bentuk kekesalannya dalam wujud penggalan lirik plesetan yang arogan dan terkesan berbau rasis semacam ini.
Selanjutnya, dari perspektif mimesis.Amat menarik dikaji bahwa: apa memang oknum polisi (tidak semua tentunya) berkelakuan sebegitu kurang ajarnya hingga pemilihan diksi pada zaman lagu itu dibuat (ataupun diplesetkan) harus melahirkan permenungan yang berbuah penggalan lirik semacam ini? Selain itu tentu kita bertanya, mengapa hingga kini lirik (plesetan) ini masih awet? Apakah ini cara lirik lagu menggambarkan eksistensi, harkat dan martabat kepolisian?
Apa karena: kasus pemukulan siswa SMA oleh salah seorang oknum polisi, aparat kepolisian yang tersandung kasus narkoba, pemerasan oleh oknum polisi, pelecehan oleh oknum polisi atau aneka kasus lain yang menyeret nama besar lembaga kepolisian ini; maka lirik (plesetan) ini tetap awet?
Saya agak kesulitan untuk menelaahnya lebih jauh. Saya berpikir, alangkah lebih bijak jika pembaca  yang menilai sendiri berdasarkan pangalaman, kisah dan cerita dalam realitas kehidupannya sehari-hari. Biar pembaca sendiri yang menilai, apakah penggalan lirik  (plesetan) ‘PAK POLISI, SETAN JALAN RAYA’ semestinya dihapus? Atau mungkin masih layak untuk dihidupi?
Secara pribadi saya melihat, rasanya terlalu naif bila penggalan lirik semacam ini dilahirkan dan terus dihidupi, padahal tidak semua aparat kepolisian berlaku dan bertingkah biadab. Namun apa hendak dikata, ulah sebagian kecil oknum polisi telah terlanjur melahirkan (dan memperpanjang umur) penggalan lirik ini. Kasian aparat kepolisian lain yang benar-benar jujur, adil dan bersih jadi ikutan kena getahnya. Perkara hapus menghapus lirik sederhana (yang dibuat rumit) ini tentu menjadi tugas dan PR lain bagi  polisi. Ketika tugas dan amanah negara dijalankan dengan baik demi kepentingan rakyat, dengan sendirinya zaman akan mengubah dan menghapus penggalan lirik ini menjadi seperti yang seharusnya.
Ayolah Pak, kami percaya: POLISI MEMANG TERCIPTA UNTUK MELINDUNGI DAN MENGAYOMI MASYARAKAT‼

Komentar

  1. mengapa penggalan lirik itu masih eksis?

    mungkin karena sampai saat ini polisi penilang/penerima uang damaipun masih eksis

    saya menangkap lirik tersebut khusus disematkan bagi oknum polantas yg nakal, bukan polisi di divisi lain, karena liriknya (setan jalan raya) berarti oknum polantas nakal

    dan sampai saat ini masih eksis oknum polantas nakal yg meminta uang damai

    kalau mau tilang ya tilang saja
    kalau cukup diperingatkan ya peringatkan saja

    jangan negosiasi untuk bayar tanpa surat tilang,

    saya kira itu keresahan masyarakat

    walaupun sebetulnya sangat menyakitkan bila didengar oleh polisi yg baik yg menjalankan tugas dengan benar, begitu pula akan sakit didengar oleh keluarga polisi yg baik yg menjalankan tugas dengan benar dan BIJAKSANA

    BalasHapus
  2. Sepakat. .
    Terima kasih sudah membaca dan berkomenar Bos. .

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAHASA MANGGARAI, DIMENSI KOSMOLOGIS DAN REDEFINISI DEFINISI BAHASA KBBI

(Sebuah Catatan Lepas Pebelajar Bahasa Indonesia) Felixianus Usdialan Lagur* PROLOG Demi TUHAN, saya juga tidak tahu apa yang saya tulis. Saya cuma berharap kiranya, pemilihan judul yang terbilang cirang dan legit semacam ini akan dapat dipahami setelah teman-teman selesai membaca tulisan ini. Sebetulnya saya sangat ingin membahasakan judulnya dalam bahasa yang sesederhana mungkin, tetapi saya tidak menemukan padanan kata yang cukup cocok untuk mewakili isi tulisan. Jadi mau tidak mau hajar kat tah. . . HAKIKAT BAHASA Bahasa, baik lisan, tulis maupun bahasa isyarat merupakan alat komunikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa dikategorikan sebagai kata benda dan memiliki 2 definisi yakni: 1. Sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yg baik; tingkah laku yg baik; sopan santun (KBBI offline versi 1.5.1). Beberapa definisi bahasa oleh pak...

Ni'ang

Kebahagiaan itu relatif. Setiap orang tentu mendefinisikan kebahagiaannya dengan caranya masing-masing. Saya tidak pernah membayangkan, ternyata menjadi orang tua membuat kami mendekonstruksi salah satu definisi bahagia kami. Seonggok tai ternyata bisa menggoncang arti kata bahagia dan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada tara. Ceritanya, sudah 60-an jam putera kami Cino tidak BAB. Kami menduga, mungkin karena perubahan pola makan, berhubung sudah beberapa hari ia MPASI. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama, namun kali ini perasaan kami berbeda karena ia baru saja MPASI. Kami takut, jangan sampai kami memberinya pola makan yang salah. Jangan sampai tekstur dan komposisi makanan yang kami berikan tidak tepat. Pikiran kami kacau balau. Dalam sekejap, kehadiran tai di balik celana Cino menjelma menjadi kerinduan terbesar kami. Rasanya betapa rapuh kehidupan kami tanpa kehadirannya. Setiap jam, kami selalu meng- kuncur isi celana Cino untuk memastikan jangan-jangan ia sudah...