Di suatu sudut kota Ruteng, hiduplah seorang pemuda yang bernama Nadus. Ia merupakan putra pertama dari 5 bersaudara. Ibunya lulusan Matematika dan mengabdi sebagai seorang guru SMP. Sedangkan ayahnya bekerja sebagai PNS di salah satu instasi pemerintahan. Dengan latar belakang orang tua seperti itu, tentu kehidupan Nadus sungguh menyenangkan dan boleh dikatakan hampir pasti tidak mengalami kekurangan apapun. Segala kebutuhannya pasti dengan segera dipenuhi oleh kedua orang tuanya.
Nadus
melewati dan menjalani pendidikan SD dan SMP-nya dengan baik. Segala sesuatu
berjalan dengan sewajarnya. Ia melewati semuanya selayakanya para teman
sebayanya. Namun ketika SMA ia mulai terpengaruh oleh pergaulan teman-temannya.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bolos, bermain bliard, play station,
dan berbagai aktivitas lainnya. Untunglah saat pengumuman hasil kelulusan,
Nadus masih tetap dinyatakan lulus. Sistem kelulusan UN yang dibantu oleh sekian
persen nilai sekolah membuat Nadus dinyatakan lulus dan berhak untuk
melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah walaupun dengan nilai yang
terbirit-birit.
Setamat
SMA, Nadus kemudian merantau ke tanah Jawa. Ia ikut arus bersama teman-temannya
dengan mendaftarkan diri ke salah satu universitas di Kota Pendidikan,
Yogyakarta. Sebetulnya ia tak punya niat yang jelas terkait perkuliahannya itu.
Awal ketertarikannya ialah ia ingin ikut terus beramai-ramai dan
bersenang-senang bersama teman-teman akrabnya semasa SMA itu. Pilihannya hannya
dilandasi oleh sebuah alasan yakni, semua teman-temannya melanjutkan
perkuliahaan di kota Yogyakarta. Ia ke sana karena bujuk dan rayuan para
kerabat. “Berkuliah di Jogja, tentu punya gengsi dan nama yang berbeda”,
demikianlah kata seorang sahabatnya.
Di
sana ia menjalani perkuliahaanya dengan setengah-setengah. Sama seperti
kebiasaan lamanya, di malam hari ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan
bermain game, play station, berkeliling-keliling di seputaran kota Yogyakarta,
mabuk-mabukan, dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah mengherankan jika paginya
ia bangun terlambat dan telat berangkat kuliah. Kalaupun ia mengkikuti kegiatan
perkuliahan, ia tentu tidak dapat menyimaknya dengan baik karena rasa kantuk
yang masih menghantuinya.
Saat
evaluasi kenaikan tingkat pun tiba. Nadus dinyatakan DO karena lebih dari
separuh mata kuliah yang diprogramnya dinyatakan gugur. Ia lalu kembali ke kota
Ruteng dan melanjutkan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi swasta di
kota tersebut. Sayangnya kesempatan itu tidak digunakan dengan baik olehnya.
Kelakuannya masih saja sama bahkan semakin menjadi-jadi. Kali ini ia menjalin
hubungan asmara dengan seorang gadis yang dikenalnya saat kegiatan Ospek. Ia
dan sang kekasih berada pada jurusan yang sama.
Sama
halnya dengan anak muda pada umumnya, pada saat Hari Raya Valentine, ia dan
teman-temannya mengadakan sebuah pesta. Mereka menghabiskan malam dengan pesta
miras di kos-kosan kekasihnya. Ketika malam makin larut, dalam keadaan mabuk ia
kehilangan kesadaran dan meniduri kekasihnya itu. Beberapa bulan kemudian
barulah si gadis menyadari ternyata ia positif hamil. Berita itu ibarat petir
yang menyambar di siang bolong. Mereka berdua begitu panik dan ketakutan, namun
tak ada hal yang bisa mereka lakukan. Mereka berniat untuk menggugurkan sang
bayi, tetapi mereka tidak dapat menemukan temap yang tepat untuk melaksanakan
niatnya tersebut. Informasi tersebut kemudian sampai kepada para pimpinan
lembaga. Nadus dan kekasihnya kemudian dikeluarkan dari kampus.
Ayah
dan ibu Nadus begitu pusing dengan kondisi anaknya. Mereka kemudian bersepakat
untuk menyelesaikan permasalahnya tersebut secara kekeluargaan dan mau tidak
mau, demi kebaikan dan kebahagiaan anaknya, mereka merestui hubungan keduanya
ke jenjang pernikahan. Mereka juga memutuskan untuk membangunkan sebuah rumah
untuk Nadus dan istrinya itu di salah satu lahan kosong mereka di pinggir kota.
Langkah itu diambil agar Nadus bisa belajar hidup mandiri bersama keluarga
kecilnya itu, selain itu agar kedua orang tua Nadus bisa lebih fokus untuk
mengurus dan membesarkan adik-adik Nadus yang masih terlalu muda dan masih
punya perjalanan yang panjang di bangku sekolah.
Inilah
awal yang pahit untuk kehidupan Nadus. Dari sinilah mimpi buruk dalam garis
kehidupannya berawal. Tak begitu banyak bekal dan kemampuan yang dimilikinya.
Ia tak bisa mengubah dan menghidupi keluarga kecilnya dengan meja bliard
ataupun stik playstation. Untuk memenuhi
kebutuhannya, Nadus bekerja sebagai seorang karyawan toko dan bekerja sampingan
sebagai petani dengan mengolah lahan yang diberikan ayahnya. Keluarga kecilnya
seringkali dilanda pertengkaran karena berbagai persoalan, terutama masalah
keuangan dan tuntutan ekonomi yang mereka alami. Nadus menghabiskan sisa-sisa
hidupnya dengan penyesalan yang sia-sia; menyesali dan mengutuki setiap
detik-detik berharga yang telah ia sia-siakan. Ia sering kali terlihat melamun.
Entah apa yang pikirkannya. Mungkin ia membayangkan kehidupannya yang dahulu
berkelimpahan dan hampir pasti tidak mengalami kekurangan apapun. Ingin rasanya
ia kembali ke masa-masa itu dan mengubah semuanya; menjalani semuanya dengan
sungguh-sungguh dan sepernuh hati. Namun apalah daya, semuanya telah berlalu.
Ahhh,
sungguh sebuah air mata dan penyesalan yang sia-sia. . . .
Komentar
Posting Komentar