Beberapa minggu terakhir, media ramai memberitakan kasus korupsi, penggunaan narkoba, kekerasan antarmahasiswa, dan berbagai kasus miris lainnya. Kasus-kasus semacam ini seakan-akan telah menjadi bagian wajib dari setiap pemberiataan media. Hampir setiap hari, media tak pernah luput dari pemberitaan kasus-kasus di atas. Sayangnya, kasus –kasus ini justru didalangi oleh kaum-kaum intelektual. Sebagai salah satu contohnya: kasus penggunaan narkoba Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Noviadi yabg berujung pemecatannya dari jabatan Bupati. Dari wilayah timur, kita dikejutkan oleh berita penangkapan empat anggota DPR Kepulauan Sula, Maluku Utara karena kasus narkoba. Atau yang paling akrab di telinga masyarakat NTT pemulangan (sementara) mahasiswa asal NTT karena kasus bentrokan dengan mahasiswa asal Maluku yang berujung tewasnya Nasehon Leplemem, mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen Informatika (STMIK) ASIA Malang asal Maluku.
Masih ada begitu banyak permasalahan miris lainnya
yang dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Permasalahan semacam ini justru dalam banyak konteks dan kasus didalangi oleh
kaum-kaum intelektual. Bukankah kaum intelektual semestinya menjadi agen yang
membawa perubahan, yang menjadi cermin berperilkau yang baik, yang menjadi agen
kontrol sosial? Di tengah dinamika semacam ini, kita jadi bertanya: apa yang
salah dengan semua ini?
Sebetulnya ada sejumlah faktor yang melatabelakangi
hal-hal semacam ini. Tetapi penulis melihat, salah satu landasan utama yang
menyebabkan semuanya adalah lemahnya pendidikan karakter output lembaga
pendidikan. Sekolah dan lembaga pendidikan cendrung membentuk pribadi yang
unggul secara intelektual, tetapi mengabaikan nilai-nilai lainnya sehingga tak
mengherankan bila yang terbentuk ialah pribadi yang cerdas tetapi rapuh secara
emosi dan sosial. Sekolah berlomba-lomba mencetak produk berintelegensi tinggi,
tapi lemah kecerdasan emosi dan kecerdasan sosialnya. Tidak mengherankan bila
bangsa kita memiliki orang-orang hebat dan pintar, tetapi amat disayangkan
perilakunya.
PENDIDIKAN
KARAKTER
Mengutip pendapat Ratna Megawangi, pendidikan karakter
merupakan sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan
dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat
memberikan kontribusi yang positif bagi lingkunngannya. Tujuan pendidikan
karakter sejalan dengan tujuan pendidikan Nasional sebagaimana terangkum dalam
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yakni: mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwah kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakkhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dari uraian di atas, kita dapat
menangkap bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan serta
membentuk karakter sehinnga dapat terbentuk peradaban bangasa yang baik. Dari
uraian tersebuk, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan karakter ialah:
pertama, menguatkan nilai-nilai
kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga terbentuk kepribadian
peserta didik yang khas. Kedua, mengoreksi
perilaku dan kepribadian peserta didik agar bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah. Ketiga, membentuk
pribadi yang mampu membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan
lingkungan masyarakat.
MISKONSEPSI
PENDIDIKAN KARAKTER
Ada sejumlah ketidaktepatan makna yang beredar di
tengah masyarakat mengenai Pendidikan Karakter. Ada sejumlah golongan bahkan
dari kaum guru sendiri yang menganggap bahwa pendidikan karakter adalah
tanggung jawab keluarga (orang tua), bukan tanggung jawab skeolah. Tak sedikit
juga yang menganggap pendidikan karakter sebagai bagian dan tanggung jawab mata
pelajaran tertentu semacam: PKN, Agama maupun Pendidikan Budi Pekerti. Tak
mengherankan sejumlah pelaku dan penggiat dunia pendidikan (dalam hal ini guru)
mengabaikan penekanan terhadap pentingnya pendidikan karakter dan lebih
menekankan aspek penguasaan materi. Karena pemahaman ini, kegiatan pembelajaran
menjadi sebuah sistem dan tatanan yang kaku, karena hanya berpusat pada
kegiatan mentransfer ilmu.
Pendidikan karakter dalam sekolah semestinya diseting
sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku
anak secara utuh dengan mengacu pada nilai-nilai tertentu yang hendak dicapai
oleh sekolah. Hal ini berarti bahwa pendidikan karakter semestinya terintegrasi
dalam kegiatan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran, bukan hanya
tanggung jawab mata pelajaran tertentu. Pendidikan karakter dihadirkan dengan
mengarahkan peserta didik pada penguatan dan pengembangan perilaku yang utuh.
Pengembangan dan penguatan perilaku tersebut didasari oleh nilai yang dirujuk
oleh sekolah.
Nilai-nilai penting semacam: jujur, kerja keras,
tegas, disiplin, sabar, toleransi, peduli, adil, respek, mandiri, visioner,
terbuka, tabah dan lain sebagainya adalah nilai-nilai yang sangat perlu dikembangkan
untuk membentuk pribadi yang baik yang mampu menciptakan dan menjaga lingkungan
masyarakat yang kondusif. Selain orang tua, guru memegang peranan penting dalam
membentuk karakter peserta didik yang diharapkan. Guru harus memahami bahwa
pembentukan karakter seorang peserta didik selain menjadi tanggung jawab
keluarga yang adalah tempat belajarnya yang pertama, juga merupakan tugas dan
tanggung jawab seorang guru. Guru memegang peranan yang sangat penting; karena
itu guru harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam setiap bahan
pembelajarannya. Guru sebagai pengajar diharapakan mampu mengemas materinya dan
menyelipkan pendidikan nilai dan karakter dalam setiap bahan pembelajran yang
disampaikannya. Karena itu, guru pada era dan zaman sekarang mesti mampu
menjadi agen yang kreatif dan inovatif; tidak hanya menjadikan kegiatan
pembelajaran sebagai sebuah kegiatan transfer ilmu belaka. Tetapi jauh dari pada itu guru harus mampu menularkan
nilai-nilai karakter yang baik seperti yang telah diulas pada bagian sebelumnya.
Pendidikan yang baik adalah kegiatan pendidikan yang mampu membawa perubahan
perilaku peserta didiknya ke arah yang lebih baik. Pendidikan yang baik pada
hakikatnya tidak hanya menciptakan output yang cerdas secara intelektual tetapi
juga cerdas secara sosial dan emosional. Dengan output peserta didik yang
berkarakter, penulis meyakini bahwa kekerasan dan kasus baik kriminalitas
maupun asusila perlahan-lahan dapat hilang. Pendidikan karakter adalah salah
satu kunci utama membangun bangsa yang baik.
Komentar
Posting Komentar